Teori Hans Kelsen Vs Teori Sosiologi dalam Kasus Shin Tae-yong Vs Patrick Kluivert

oleh
oleh
Wina Armada Sukardi, Analis Sepak Bola (Foto Istimewa)

Oleh: Wina Armada Sukardi, Analis Sepak Bola

Kedatangan pelatih baru kesebelasan nasional Indonesia asal Belanda, Patrick Kluivert, Sabtu malam, (11/1/25) di bandar udara (bandara) Soekarno-Hatta (Soeta), masih belum sepenuhnya menghilangkan kontraversi dan tanda tanya besar apa sebenarnya yang terjadi di balik pergantian dari Shin Tae-yong ke Patrick Kluivert.

Penjelasan langsung oleh ketua umum PSSI Erick Thohir pun tidak lantas segera menghentikan berbagai tanda tanya apa gerangan sejatinya alasan pergantian Shin Tae-yong.

Jika diselisik lebih lanjut, prestasi Shin Tae-yong tidaklah buruk, kalau tak mau dibilang baik atawa sangat baik. Shin Tae-yong telah membangun fondasi budaya sepak bola Indonesia yang kukuh: disiplin, profesionalitas dan tentu saja deretan prestasi.

Shin Tae-yong yang telah memegang jabatan sebagai pelatih Timnas Indonesia sejak tahun 2020 berhasil menorehkan prestasi, antara lain, membawa Timnas Indonesia menembus ke Piala Asia 2023 dan menjadi semifinalis Piala Asia U-23.

Lantas dia juga membawa Indonesia ke ronde ketiga Kualifikasi Piala Dunia 2026. Dan, bukan tidak mungkin, jika diberikan kesempatan, dia mampu menciptakan sejarah baru untuk sepak bola Indonesia, yakni berhasil menempatkan Indonesia menjadi salah satu peserta Piala Dunia tahun 2026. Tapi impiannya membawa Indonesia ke kejuaraan dunia itu kandas, lantaran dia keburu “dipecat.”

Dilihat dari sisi ini, penghentian Shin Tae-yong menjadi kontraversial dan mengejutkan, bahkan nyaris di luar akal sehat. Apalagi persiapan kesebelasan Indonesia ke ajang Piala Dunia tinggal tersisa dua bulan lagi.

Di balik ketidakjelasan itu, setidaknya kita dapat menemukan beberapa alasan pemecatan Shin Tae-young.

Pertama, seperti dikatakan Erick Thohir, ada masalah komunikasi antara pemain dan pelatih. Hal ini menyebabkan adanya kegelisahan, bahkan ketidakpuasan, dari sebagian pemain kepada pelatih Shin Tae-yong. Ini dianggap dapat meruntuhkan kesatuan tim Indonesia.

Kedua, manakala Indonesia melawan China dan Indonesia keok, Shin Tae-yong dinilai tidak menurunkan komposisi tim terbaik karena faktor sentiman ke beberapa pemain. Shin Tae-young menganggap ada pemain yang tidak patuh terhadap strateginya. Oleh sebab itu susunan pemain rada aneh dan rada “ala kadarnya.”

Wahasil, kesebelan Indonesia babak belur. Padahal melawan China kala itu, Indonesia diharapkan wajib menang. Kekalahan dari China bukan sekedar dipandang sebagai tanggung jawab Shin Tae-yong tapi juga membuat solidaritas pemain dan pelatih juga menjadi goyah.

Kemenangan Indonesia melawan Arab Saudi di Jakarta kemudian pun agak di luar skenario Shin Tae-yong. Kala itu, pergerakan bintang Indonesia Marselino Ferdinan, sesungguhnya di luar strategi Shin Tae-yong. Akibatnya Marselino malah nyaris diganti. Beruntung Marselino dapat menunjukkan tajinya dengan mencetak dua gol.

Alasan berikutnya, prestasi di Piala AFF sangat memukan. Bukan saja dia tak mampu membawa Indonesia lolos dan pase group, tetapi juga mengukir sejarah buruk: Indonesia “dibunuh” Filipina di kandang sendiri. Padahal sebelumnya Filipina hampir selalu menjadi bulan-bulan Indonesia.

No More Posts Available.

No more pages to load.