Bersamaan pula dijelaskannya bahwa penutupan sementara jalur jembatan dan pelayaran ini, menunjukkan bahwa pemerintah terjebak dalam dilema klasik antara keselamatan dan keberlanjutan ekonomi. “Jalur pelayaran di bawah Jembatan Mahakam adalah urat nadi distribusi batu bara dan barang lainnya. Ketika jalur ini terganggu, efek domino segera terlihat. Kapal yang harus menunggu di luar pelabuhan terkena beban biaya tinggi, gudang penyimpanan mengalami penumpukan, dan pelabuhan menjadi penuh sesak,” ujar Capt. Marcellus Hakeng.
Dalam jangka pendek, tambah Captn. Hakeng, kerugian dapat dilihat dari biaya logistik yang membengkak. “Sedangkan dalam jangka panjang, kondisi ini menggerus kepercayaan investor, menurunkan daya saing ekspor, dan bahkan memengaruhi posisi Indonesia dalam rantai pasok global. Tambahan pula bahwa industri batu bara adalah penyumbang besar penerimaan negara. Maka, gangguan sekecil apapun terhadap jalur distribusi batu bara berarti potensi kerugian terhadap pendapatan negara bukan pajak yang besar,” tutur Hakeng.
Oleh karena itu, lanjut Captn. Hakeng, solusi yang diambil tidak bisa hanya berupa penutupan dan peninjauan ulang tanpa tindak lanjut strategis. “Salah satu solusi konkret yang saya usul adalah pemasangan fender di sekitar tiang jembatan. Fender merupakan pelindung elastis dari bahan karet yang mampu menyerap energi benturan kapal, sehingga mencegah kerusakan pada struktur jembatan,” tegas Hakeng.
Diingkatkan pula olehnya bahwa negara-negara maju yang memiliki pelayaran padat telah lama mengadopsi sistem ini dan terbukti berhasil menekan angka kerusakan akibat insiden pelayaran. “Sayangnya, meskipun Jembatan Mahakam sudah mengalami lebih dari 20 kali insiden tabrakan sejak dibangun, instalasi fender belum menjadi bagian dari sistem perlindungan permanen. Padahal, bila biaya pemasangan dibagi bersama antara pemerintah dan pelaku pelayaran, misalnya melalui skema retribusi atau premi perlindungan, maka beban fiskalnya dapat ditekan dan menjadi investasi jangka panjang yang sangat rasional,” ujar Hakeng.