Menurut dia, ancaman iklim, ancaman bencana alam, ancaman kerusakan lingkungan, serta semakin rusaknya bumi ini menunjukkan pengelolaan bumi yang semakin jauh dari nilai luhur keislaman. Padahal, kata dia, keberadaan Syariat yang menjadi “jalan” bagi umat manusia belum sepenuhnya bisa mewujudkan “bumi” yang lebih baik. “Bukan karena syariatnya itu sendiri, tapi karena nilai-nilai luhur itu belum diterjemahkan ke dalam etika dan hukum kehidupan,” seru Tholabi.
Dia menekankan, fikih ekologis atau fikih hijau yang dimiliki Islam menjadi instrumen untuk menjawab tantangan di sektor lingkungan. Menurut dia, umat Islam secara khusus dan bagi umat manusia pada umumnya untuk kembali memakmurkan bumi dengan cara-cara yang baik, terikat dengan tujuan ilahiah, dan sekaligus juga membawa kemaslahatan bagi kehidupan umat manusia.
“Pemaknaan islam rahmatan lil alamin di antaranya, menjadi landasan teologis untuk menghadirkan fikih hijau demi kemaslahatan publik dan keberlanjutan generasi mendatang,” tegas Tholabi.