Kedua, terkait pergerakan jemaah yang berangkat pada gelombang I dari Madinah ke Makkah. Di Madinah, jamaah haji dati sayu penerbangan ditempatkan pada satu hotel. Namun, ketika akan diberangkatkan ke Makkah, konfigurasinya harus berbasis Syarikah. Sementara ada kondisi konfigurasi sebagian kelompok kecil jemaah yang berbeda-beda Syarikah. Mereka ini sementara tinggal dulu di Madinah.
“Ditjen PHU atau Misi Haji Indonesia menyediakan transportasi sendiri. Ada yang memakai mobil lebih kecil atau mini-bus atau mobil yang lain. Inilah yang disebut dalam surat tersebut sebagai memberangkatkan tidak sesuai dengan prosedur,” jelas Hilman.
“Kita sudah komunikasikan itu ke Kementerian Haji. Kita sudah sampaikan ke Syarikahnya. Jadi itu sudah disepakati. Tidak mungkin kita membawa orang dari Madinah ke Makkah tanpa ada kesepakatan dari lembaga terkait, Kemenhaj maupun Syarikah,” lanjutnya.
Ketiga, terkait penempatan jemaah pada hotel di Makkah. Dijelaskan Hilman Latief, mayoritas jemaah haji Indonesia tinggal di hotel masing-masing sesuai syarikahnya. Tujuannya, untuk mengamankan jemaah saat pergerakan ke Arafah, Muzdalifah, dan Mina. Namun, ada sejumlah jemaah yang terpisah dan berharap bisa bergabung dengan kloter besarnya, meski syarikahnya berbeda. Ada di antara jamaah yang memberi tahu keoindahan hotel mereka, tapi ada juga yang tidak memberitahu, baik kepada Kasektor maupun Ketua Kloternya.
“Ini yang disebut sebagai penempatan yang tidak sesuai. Tapi kami sampaikan dan itu menjadi bahan diskusi kami setiap hari dengan Kementerian haji dan Syarikah penyedia layanan. Termasuk penggabungan suami istri, lansia dan pendamlingnya. Jadi kalau mayoritas jemaahnya menempat hotelnya dengan benar sesuai dengan Syarikahnya,” tegas Hilman. Kepindahan hotel untik penggabunhan jamaah (khususnya yg memiliki imatan keluarga tersebut juga dibolehkan.
“Tugas dan fungsi kita sebagai penyelenggara haji adalah menyelesaikan masalah-masalah yang muncul di lapangan. Alhamdulillah dengan koordinasi dan dukungan pemerintah Saudi yang solid dan baik, semua bisa teratasi, termasuk pada saat puncak haji,” ucapnya lagi.
Keempat, terkait kesehatan jemaah. Hal ini menurut Hilman, sudah dibahas sejak awal, bahwa jumlah jemaah haji Indonesia yang lansia dan risiko tinggi cukup tinggi. Ini didiskusikan sejak awal karena ada kekhawatiran dari Pemerintah Saudi, jumlah jemaah yang wafat di 2025 melebihi tahun lalu. Sehingga, jemaah lansia dan risti harus dijaga dengan baik oleh group dan pendampingnya.
“Ini juga menjadi catatan peringatan bagi mitra kita di KBIHU dan para pembimbing untuk jangan terlalu memaksakan ibadah sunah terlalu sering, terlalu banyak, kepada jemaah dengan kondisi khusus (lansia/risti) semacam itu. Ini kan masih terjadi, jadi masih masuk catatannya dalam nodip,” kata Hilman.
“Harapan dari Kemenhaj melalui Nota Diplomatik itu adalah proses seleksi jemaah lebih ketat. Kalau berat dengan penyakit tertentu tidak berangkat, termasuk yang harus cuci darah. Pesan ini luas, termasuk untuk keluarga jamaah agar jangan merelakan anggota keluarga dengan kondisi yang berat harus pergi ke sini, sementara medan pelaksanaan haji begitu berat yang harus dijalani,” sambungnya.