Menurut Capt. Marcellus Hakeng Jayawibawa, dalam realitasnya masih banyak kapal berangkat tanpa inspeksi menyeluruh, dan tak jarang petugas menutup mata demi kelancaran operasional. Dalam konteks inilah, tenggelamnya KMP Tunu Pratama Jaya tidak bisa hanya dilihat sebagai kecelakaan teknis, tetapi juga sebagai kegagalan etis dan kelembagaan.
“Makanya insiden ini menyoroti kembali kebutuhan mendesak akan reformasi menyeluruh dalam tata kelola keselamatan transportasi laut,” tegas Capt. Hakeng.
Ditambahkan olehnya bahwa sistem pengawasan di pelabuhan harus diperketat dan diawasi secara berlapis, tidak cukup hanya dengan cek manifest atau pemeriksaan visual seadanya. Syahbandar dan operator pelabuhan harus bertanggung jawab penuh atas kelayakan pelayaran, dan tidak boleh ada kompromi terhadap kapal yang tidak memenuhi standar.
“Pemerintah pusat juga melalui Kementerian Perhubungan, harus mengaudit ulang seluruh armada kapal penyeberangan aktif, khususnya yang melintasi jalur-jalur strategis seperti Selat Bali,” ujar Capt. Marcellus Hakeng Jayawibawa.
Ditekankan pula olehnya bahwa tanggung jawab juga tidak bisa hanya dibebankan pada pemerintah pusat. “Pemerintah daerah, BUMN pengelola pelabuhan, hingga perusahaan swasta penyedia jasa transportasi laut harus mengembangkan budaya keselamatan bersama. Tidak cukup hanya dengan memasang baliho peringatan atau menyusun SOP di atas kertas. Dibutuhkan komitmen nyata dan pengawasan internal yang efektif, termasuk pemberian sanksi kepada personel yang lalai,” ujarnya.