Pengamat Nilai Gubernur DKI Pramono Anung Plin-plan Soal Proyek RDF Rorotan

oleh -69 Dilihat
oleh
RDF Plant Rorotan berdiri di lahan seluas 7,78 hektare dan menjadi salah satu fasilitas pengolahan sampah terbesar di dunia. (Foto: beritajakarta.id)

Pengamat kebijakan publik Trubus Rahadiansyah menilai Gubernur DKI Jakarta Pramono Anung bersikap plin-plan terkait proyek Refuse Derived Fuel (RDF) Rorotan di Jakarta Utara. Proyek pengolahan sampah senilai Rp1,27 triliun itu dinilai gagal memberikan manfaat dan justru menimbulkan polemik di tengah masyarakat.

Trubus menyoroti tiga kali uji coba operasional RDF Rorotan yang selalu mendapat penolakan dari warga karena menimbulkan bau menyengat dan gangguan kesehatan.

“Ada apa dengan RDF Rorotan? Sepertinya hukum dan aturan tidak berlaku di sana,” kata Trubus kepada Info Indonesia, Sabtu (8/11/25).

Menurutnya, publik kebingungan dengan sikap Pramono yang terkesan membela proyek besar peninggalan Pj Gubernur Heru Budi Hartono tersebut.

Proyek RDF Rorotan mulai dilaksanakan pada awal 2024 dan dijadwalkan selesai pada 31 Desember 2024. Berdasarkan data Badan Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah (BPBJ) DKI Jakarta, proyek ini diikuti sembilan perusahaan asing dan satu konsorsium dalam negeri, yaitu PT Wijaya Karya (Wika), PT Jaya Konstruksi (Jakon), dan PT Asiana Tekhnologi Lestari (ATL), dengan nilai kontrak Rp1,284 triliun.

Direktur PT ATL, Poltak Sitinjak, pernah menjelaskan bahwa teknologi yang digunakan merupakan hasil inovasi anak bangsa yang mampu mengolah hingga 2.500 ton sampah per hari tanpa proses pemilahan manual.

“Teknologi ini bisa memilah dan mencacah sampah otomatis hingga menjadi bahan bakar untuk industri semen,” ujar Poltak pada 2024 lalu.

Kepala Dinas Lingkungan Hidup DKI, Asep Kuswanto, menambahkan bahwa hasil RDF akan dijual ke industri semen dengan harga USD 24–44 per ton sebagai tambahan pendapatan daerah.

Uji coba pada Februari 2025 gagal total karena warga sekitar menolak akibat bau menyengat dan meningkatnya kasus ISPA.
Menanggapi hal itu, Pramono sempat meminta maaf dan memberi waktu tambahan kepada kontraktor untuk memperbaiki sistem.

Namun, publik kembali dibuat heran saat Pramono mengusulkan tambahan anggaran sekitar Rp80 miliar untuk “penyempurnaan” proyek tersebut.

Wakil Ketua Komisi D DPRD DKI Jakarta, Muhammad Idris, membenarkan bahwa usulan itu akhirnya dibatalkan. “Awalnya dianggarkan Rp80 miliar, tapi kemudian dibatalkan dan tidak ada tambahan dana untuk RDF Rorotan,” tegas Idris kepada Info Indonesia.

Sementara perwakilan PT Jaya Konstruksi, Andi, mengungkapkan bahwa Pemprov DKI telah membayar hampir seluruh nilai proyek. “Setahu saya tinggal sekitar Rp60 miliar ke PT ATL karena belum serah terima (PHO),” ujarnya.

Warga Tetap Menolak, Pramono Ubah Alasan

Setelah dua kali gagal, RDF Rorotan kembali diuji coba, namun penolakan warga tetap terjadi.

Pramono beralasan bahwa bau yang muncul bukan dari pabrik RDF, melainkan dari air lindi truk pengangkut sampah yang bocor. Ia pun mengurangi kapasitas pengolahan menjadi 1.000 ton per hari.

“Kalau kapasitas dikurangi, sampah tidak sempat menimbulkan bakteri penyebab bau,” kata Pramono kepada wartawan.

Namun, pernyataan tersebut justru memperkuat dugaan publik bahwa proyek ini tidak dikelola dengan baik.

Trubus: Ada Dugaan Konspirasi dan Permainan Anggaran

Menanggapi inkonsistensi kebijakan tersebut, Trubus menduga ada permainan di balik proyek RDF Rorotan. “Saya curiga ada konspirasi besar. Proyek ini bisa jadi sudah jadi bancakan antara oknum birokrat, politisi, dan pengusaha,” ujarnya.

Ia menegaskan, proyek pemerintah harus dijalankan sesuai kontrak dan tenggat waktu. Jika tidak selesai tepat waktu, kontraktor seharusnya dikenai sanksi tegas.

“Jangan malah ditambah anggaran atau diperpanjang tanpa batas yang jelas,” katanya.

Trubus juga mempertanyakan peran KPK yang diklaim mendampingi proyek sejak awal. “Kalau KPK sudah mendampingi sejak awal tapi hasilnya tetap gagal, ini aneh,” tegasnya.

Sebagai langkah hukum, Trubus mendorong Kejaksaan Agung untuk turun tangan mengusut dugaan penyimpangan proyek tersebut.

“Kejaksaan harus masuk. Proyek ini sudah tidak masuk akal dan terindikasi jadi permainan anggaran,” pungkasnya.

No More Posts Available.

No more pages to load.