Jakarta, sketsindonews – Jakarta kembali akan di uji dalam perspektif toleransi beragama, pasalnya masyarakat Jakarta yang pluralistik akan menghadapi perhelatan memilih pemimpin Jakarta (pemilukada).
Dalam pandangan toleransi perbedaan pilihan, menurut pengamat Sosiolog dari Universitas Nasional Dr.Firdaus Syam menjelaskan, toleransi beragama menjadi garda terdepan dimana Jakarta sebagai Kota Metropolis tentunya tak terhindarkan dari dinamika yang muncul.
“Bahwa masyarakat Jakarta secara khas heterogeneous majemuk. Memiliki strata sosial yang berbeda,” terangnya, senin (22/8).
Menurutnya, kondisi tersebut dalam konteks kehidupan politik sangat rentan dengan issue politik, sensitivitas politik bahkan kecemburuan politik.
“Pada saat ini warga Jakarta akan menghadapi pilikada DKI, dimana permainan politik semakin memanas terkait dengan penacalonan Wagub DKI, terutama masa berakhirnya masa pecalonan independen,” jelasnya.
Sekarang ini, lanjut Firdaus, tinggal jalur partai politik yang bulan September, artinya secara definitif oleh KPU akan cepat diketahui.
Misalkan nama Calon Gubernur dan Wakil Gubernur seperti Basuki alias Ahok, Sandiaga Uno, Saefullah, Risma, Djarot Saeful ternyata dukungan dari partai 22 kursi, maka pilikada Jakarta bukan saja menarik tapi juga menjadi kerawanan yang panas, namun demikian para calon tersebut telah mempretasikan dari aliran politik serta primordial.
“Ini tidak bisa di hindari karena fakta politik rill seperti itu,” tegas Firdaus yang juga pengajar ilmu politik.
Masalahnya dijelaskan lebih jauh adalah bagaimana DKI kedepan, DKI yang majemuk, DKI Mulitiforce, DKI terasnya ibukota, kita butuh Gubernur dan Wagub yang mampu membawa masyarakat Jakarta modern dan maju tapi juga beradab, serta seluruh elemen masyarakat jakarta terakomodasi dan terwakili.
Para calon juga harus menyadari selain itu di kantong-kantong Jakarta yang besar masih ada garis kemiskinan, mereka adalah bagian dari warga Jakarta bukan saja mereka menikmati pembangunan Jakarta tapi juga di manusiawikan.
Dengan itu di katakan, siapapun yang menjadi Gubernur juga harus manusiawi. Gubernur yang beretika, Gubernur berpolite, dan juga punya rasa sensitivities dengan yang dimiliki masyarakat religious.
“Oleh karena itu berpandangan punya tanggung jawab sebagai warga Jakarta untuk mengajak dan menghimbau agar dalam memilih Gubernur di pilikada DKI, jangan semata berpegangan pada jargon, janji, atau konsensi konsensi dalam jangka pendek yang menyangkut kesejahteraan, akan tetapi pilihan Gubernur yang meemiliki visi Jakarta menjadi kota yang beradab dan modern,” paparnya.
Secara terpisah Kepala Badan Kantor Badan Kesatuan Bangsa dan Politik Provinsi DKI Jakarta Dr. H.Ratiyono,MMSi di sela kunjungan sosialisasi toleransi pembangunan rumah peribadatan di GOR Otista Raya Jakarta Timur mengatakan bahws peran toleransi sangat penting dalam menghadapi Jakarta di tahun politik.
Kesbangpol DKI dalam program sosialisasi telah menjelaskan dengan memberikan pemahaman dan edukasi ke warga tokoh masyarakat melalui seminar serta dialog.
“10 titik program di Kecamatan di DKI yang menjadi titik rawan dalam upaya menjaga toleransi peran Agama antar perkumpulan masyarakat menjadi bagian penting dengan persoalan dinamika nya kita sudah lakukan dalam sebuah forum media,” tutup Ratiyono. (Nr)