Ki Ageng Giring, Mataram Islam Berawal dari Gunungkidul

oleh
oleh

Ki Ageng Giring pasrah dan memupus takdir, bahwa Ki Pemanahan rupanya lebih unggul dalam kualitas ruhani sehingga dipilih Tuhan Yang Menguasai Alam Semesta untuk menjadi bapak bagi raja-raja Jawa. Namun demikian, Ki Ageng mencoba menyampaikan maksud hatinya kepada Ki Ageng Pemanahan agar salah seorang anak turunnya kelak bisa turut menjadi raja di Mataram. Ki Ageng Pemanahan yang maqam jiwanya sudah ngerti sadurunge winarah pun juga nglenggana, memiliki keikhlasan yang tinggi. Dari musyawarah diperoleh kesepakatan bahwa keturunan Ki Ageng Giring akan diberi kesempatan menjadi raja tanah Jawa pada keturunan yang ketujuh.

Bagi Ki Ageng Giring, kesempatan menjadi raja Mataram pupus sudah, tinggal harapan panjang yang barangkali bisa dinikmati pada generasi ketujuh. Setelah perginya Ki Ageng Pemanahan dari rumahnya, Ki Ageng tidak bisa menyembunyikan masygul hatinya. Ia banyak merenung mupus takdir di pinggir sungai, yang kini dikenal masyarakat dengan nama Kali Gowang. Nama Kali Gowang, karena hatinya lagi lagi terluka, gowang, kecewa, teriris-iris atas kegagalannya memperoleh wahyu Mataram. Setelah kegagalan itu, Ki Ageng Giring semakin banyak beribadah kepada Allah SWT dan tak lama kemudian kesehatannya mulai rapuh lalu dimakamkan di dekat rumah beliau.
Kisah selanjutnya adalah kembalinya Ki Ageng Pemanahan ke Kraton Pajang, nagih janji kepada Sultan Hadiwijaya dengan diantar oleh Sunan Kalijaga.

Kisah ini akan dipaparkan lebih jauh pada bagian Petilasan Kembang Lampir.
Kisah Ki Ageng Giring ini menjadi sangat khas Jawa. Betapapun membuktikan nasab hingga 7 turunan tidaklah mudah. Apalagi intrik dan campur tangan politik Jawa pada kurun waktu itu sangat keras. Kerajaan Mataram berpindah-pindah dari Kotagede ke Pleret, dari Pleret ke Kartasura dan akhirnya dari Kartasura ke Surakarta. Kita hanya mengetahui bahwa Kerajaan Mataram kemudian didirikan oleh Danang Sutawijaya putra Ki Ageng Pemanahan yang bergelar Panembahan Senopati. Panembahan Senopati kemudian menurunkan Panembahan Sedo Krapyak, Panembahan Sedo Krapyak menurunkan Raden Mas Rangsang yang kita kenal dengan Sultan Agung Hanyakrakusuma.
Pada masa Sultan Agung kerajaan Mataram mencapai puncak keemasannya secara kewilayahan, keprajuritan, keagamaan, sosial budaya dan ekonomi.

Namun pasca Sultan Agung, Mataram benar-benar harus berjuang mempertahankan eksistensinya karena banyak intrik baik internal maupun eksternal berupa kedatangan penjajah.
Babad Nitik Sultan Agung menguraikan perjalanan Sultan Agung, termasuk pembuktian bahwa Puger memang keturunan Giring.

Penulis babad ini menceritakan bahwa pada suatu ketika parameswari Amangkurat I, Ratu Labuhan, melahirkan seorang bayi yang cacat. Bersamaan dengan itu isteri Pangeran Arya Wiramanggala, keturunan Kajoran, yang merupakan keturunan Giring, melahirkan seorang bayi yang sehat dan tampan. Amangkurat mengenal Panembahan Kajoran sebagai seorang ulama sepuh dan dapat menyembuhkan orang sakit. Oleh karena itu puteranya yang cacat dibawa ke Kajoran untuk dimintakan penyembuhannya. Kajoran merasa bahwa inilah kesempatan yang baik untuk merajakan keturunannya. Dengan cerdiknya bayi anak Wiramanggalalah yang dikembalikan ke Amangkurat I ditukar dengan menyatakan bahwa upaya penyembuhannya berhasil.

Dengan demikian, menjadi benarlah bahwa pada urutan keturunan yang ke-7 keturunan Ki Ageng Giringlah yang menjadi raja, meskipun silsilah itu diambil dari garis perempuan. Paku Buwono I adalah raja yang berdarah Giring.

Dalam kompleks makam Sunan Giring juga terdapat masjid, padepokan Ki Ageng Giring, Sendang, pohon yang berusia seusia makam. Setelah peziarah memasuki pintu gerbang mereka akan melewati makam para pengikut Ki Ageng Giring III kini juga menjadi pemakaman warga. Makam Ki Ageng Giring sendiri berada di dalam tembok yang dibangun pada masa Sri Sultan Hamengku Buwono IX.

Kali Gowang yang mengalir di desa Giring sampai saat ini menjadi tumpuan warga desa Giring, Mulusan, Karangasem dan desa Sodo. Terlebih pada setiap musim kemarau tiba. Sungai ini memiliki keterkaitan erat dengan perjuangan Ki Ageng Giring.

Secara ekologis Ki Ageng Giring terbukti mengajarkan simbiosis mutualisme antara warga dengan lingkungan sekitarnya. Airnya sangat jernih dan tak pernah kering, mengalir sampai ke laut selatan.

Selain airnya yang tak pernah kering, panorama kawasan kali Gowang juga amat indah dan alami sehingga banyak orang yang merasa teduh dan nyaman berada di tempat ini. Karena keberadaan makam Ki Ageng Giring ini, Desa Sodo memperoleh predikat sebagai desa wisata religi.

Setiap hari tertentu di tempat ini masyarakat sekitar sering melakukan berbagai macam ritual budaya yang turun-temurun dilakukan dari dahulu kala. Yaitu setiap hari Kamis Wage, dusun-dusun yang berada di wilayah Desa Giring, mengadakan malam tirakatan dan pada pagi harinya, Jum’at Kliwon, melakukan sedekah untuk warga miskin di balai desa tempat upacara.

Masih di dalam kompleks makam, terdapat pendapa Padepokan Makam Ki Ageng Giring III, sendang dan pohon beringin yang sudah berusia seusia makam.

Tinggalkan Balasan

No More Posts Available.

No more pages to load.