Menyibak Misteri Nusantara

oleh
oleh

Jogjakarta, sketsindonews – Tulisan ini di persembahkan untuk seluruh rakyat nusantara sebagai ungkapan rasa keprihatinan atas carut marut yang sedang terjadi di bumi pertiwi ini.

Berawal dari Ritual yang sesungguhnya bukan untuk menerawang keadaan Nusantara, tetapi justru penulis Kerawuhan(kedatangan) Sabdo Palon Noyo Genggong, Penguasa Ghoib Tanah Djawa, yang telah membawa penulis kepada pencerahan cakrawala pemahaman tentang apa dan bagaimana kejadian yang tengah berlangsung dan prediksi yang akan terjadi di negeri ini.

Bahkan tidak berlebihan kalau penulis katakan bahwa ini merupakan suatu upaya membedah warisan leluhur yang sarat dengan perlambang sehingga sedikit demi sedikit terkuak tabir misteri jagad nusantara ini. Sangat luar biasa. Hal ini sepatutnya bisa dipahami oleh seluruh anak cucu leluhur bangsa ini sebagai pewaris sah tataran tanah surgawi yang bernama Nusantara.

Hasil kajian spiritual yang berhasil penulis pahami dengan “rasa naluri” yang mendalam dengan tanpa mengabaikan logika berpikir sehat.

Memang banyak hal sulit ditelusuri melalui referensi buku-buku sejarah atau dengan bukti-bukti empiris yang ada, namun dengan semangat menguak tabir misteri untuk lebih memahami fenomena yang terjadi saat ini, maka segala sesuatunya yang dapat penulis cerna dan pahami sehingga penulis ungkapkan secara sederhana apa adanya. Ibarat mencari mata rantai yang hilang (missing link), nampaknya misteri yang ditinggalkan pasca keruntuhan Majapahit (500 tahun yang lalu) mulai terlihat secara samar-samar.

“Kumpulkanlah ahli-ahli Thoriqoh negeri ini yaitu mursyid / syeh-syeh yang telah mencapai maqom ma’rifat “Mukasyafah”, Pedanda-pedanda sakti agama Hindu, Bhiksu-bhiksu agama Budha yang telah sempurna, serta kasepuhan waskito dari Keraton Yogyakarta, Solo & Cirebon, untuk bersama-sama memohon petunjuk kepada Allah SWT mencari siapa sosok orang yang mampu mengatasi keadaan ini dan mencari jawab dari misteri ramalan para leluhur di atas. Gunakan 4 point panduan saya untuk memandu mereka. Insya Allah, jika Allah Azza wa Jalla memberikan ijin dan ridho-Nya akan diketemukan jawabannya.”

Memahami Makna Karya Warisan Leluhur Nusantara

Terlebih dahulu penulis ucapkan terima kasih kepada Budi Marhaen atas pemberian referensi-referensinya berupa naskah : Bait-bait syair terakhir Ramalan Joyoboyo, Serat Musarar Joyoboyo(yang akan di ketengahkan pada tulisan berikutnya), Uga Wangsit Siliwangi, Serat Darmagandhul, dan Ramalan Ronggowarsito. Setelah saya membaca dan berusaha memahami dengan segala perenungan, maka saya pun menjadi takjub dibuatnya akan karya-karya beliau para leluhur kita.

Antara satu dengan lainnya walaupun berbeda masa/periode yang jauh berselang, namun ternyata di dalam perlambangnya memiliki saling keterkaitan. Suatu perlambang dalam suatu karya menunjuk kepada perlambang atau karakter yang lain di dalam karya leluhur yang berbeda.

Penulis merasakan bahwa tanpa intervensi kemampuan spiritual yang tinggi akan sangat sulit memahami keterkaitan perlambang-perlambang ini. Dan fenomena ini membuktikan bahwa hanya dengan mengandalkan akal penalaran saja akan mengantarkan kita kepada jalan buntu. Akhirnya menyerah pada keputusasaan dengan menganggap bahwa ini semua merupakan sekedar ramalan yang tidak berguna dan out of date (usang). Masing-masing orang bisa saja menafsirkan hal tersebut dengan penafsiran yang berbeda-beda. Tidak ada yang melarang. Bebas-bebas saja. Benar tidaknya kembali kepada diri kita masing-masing. Inilah tabir misteri. Kebenaran sejati adanya di dalam nurani yang suci dan bersih. Dalam buku ini referensi-referensi tersebut dapat dibaca secara lengkap pada bagian lampiran.

Uga Wangsit Siliwangi

Membaca naskah Uga Wangsit Siliwangi terasa mengandung hakekat yang sangat tinggi bila telah memahaminya. Karena di dalamnya digambarkan situasi kondisi sosial beberapa masa utama dengan karakter pemimpinnya dalam kurun waktu perjalanan panjang sejarah negeri ini pasca kepergian Prabu Siliwangi (ngahiang/menghilang).

Peristiwa itu ditandai dengan menghilangnya Pajajaran. Dan sesuai sabda Prabu Siliwangi bahwa kelak kemudian akan ada banyak orang yang berusaha membuka misteri Pajajaran. Namun yang terjadi mereka yang berusaha mencari hanyalah orang-orang sombong dan takabur. Seperti diungkapkan dalam naskah tersebut berikut ini :

”Ti mimiti poé ieu, Pajajaran leungit ti alam hirup. Leungit dayeuhna, leungit nagarana. Pajajaran moal ninggalkeun tapak, jaba ti ngaran pikeun nu mapay. Sabab bukti anu kari, bakal réa nu malungkir! Tapi engké jaga bakal aya nu nyoba-nyoba, supaya anu laleungit kapanggih deui. Nya bisa, ngan mapayna kudu maké amparan. Tapi anu marapayna loba nu arieu-aing pang pinterna. Mudu arédan heula.”

• “Semenjak hari ini, Pajajaran hilang dari alam nyata. Hilang kotanya, hilang negaranya. Pajajaran tidak akan meninggalkan jejak, selain nama untuk mereka yang berusaha menelusuri. Sebab bukti yang ada akan banyak yang menolak! tapi suatu saat akan ada yang mencoba, supaya yang hilang bisa ditemukan kembali. Bisa saja, hanya menelusurinya harus memakai dasar. Tapi yang menelusurinya banyak yang sok pintar dan sombong. Dan bahkan berlebihan kalau bicara.”

Namun dalam naskah Wangsit Siliwangi ini dikatakan bahwa pada akhirnya yang mampu membuka misteri Pajajaran adalah sosok yang dikatakan sebagai ”Budak Angon” (Anak Gembala). Sebagai perlambang sosok yang dikatakan oleh Prabu Siliwangi sebagai orang yang baik perangainya.

”Sakabéh turunan dia ku ngaing bakal dilanglang. Tapi, ngan di waktu anu perelu. Ngaing bakal datang deui, nulungan nu barutuh, mantuan anu sarusah, tapi ngan nu hadé laku-lampahna. Mun ngaing datang moal kadeuleu; mun ngaing nyarita moal kadéngé. Mémang ngaing bakal datang. Tapi ngan ka nu rancagé haténa, ka nu weruh di semu anu saéstu, anu ngarti kana wangi anu sajati jeung nu surti lantip pikirna, nu hadé laku lampahna. Mun ngaing datang; teu ngarupa teu nyawara, tapi méré céré ku wawangi.”

• ”Semua keturunan kalian akan aku kunjungi, tapi hanya pada waktu tertentu dan saat diperlukan. Aku akan datang lagi, menolong yang perlu, membantu yang susah, tapi hanya mereka yang bagus perangainya. Apabila aku datang takkan terlihat apabila aku berbicara takkan terdengar. Memang aku akan datang tapi hanya untuk mereka yang baik hatinya, mereka yang mengerti dan satu tujuan, yang mengerti tentang harum sejati juga mempunyai jalan pikiran yang lurus dan bagus tingkah lakunya. Ketika aku datang, tidak berupa dan bersuara tapi memberi ciri de¬ngan wewangian.”

Selanjutnya dikatakan juga apa yang dilakukan oleh sosok ”Budak Angon” ini sebagai berikut:
”Aya nu wani ngoréhan terus terus, teu ngahiding ka panglarang; ngoréhan bari ngalawan, ngalawan sabari seuri. Nyaéta budak angon; imahna di birit leuwi, pantona batu satangtungeun, kahieuman ku handeuleum, karimbunan ku hanjuang. Ari ngangonna? Lain kebo lain embé, lain méong lain banténg, tapi kalakay jeung tutunggul. Inyana jongjon ngorehan, ngumpulkeun anu kapanggih. Sabagian disumputkeun, sabab acan wayah ngalalakonkeun. Engke mun geus wayah jeung mangsana, baris loba nu kabuka jeung raréang ménta dilalakonkeun. Tapi, mudu ngalaman loba lalakon, anggeus nyorang: undur jaman datang jaman, saban jaman mawa lalakon. Lilana saban jaman, sarua jeung waktuna nyukma, ngusumah jeung nitis, laju nitis dipinda sukma.”

• ”Ada yang berani menelusuri terus menerus, tidak mengindahkan larangan, mencari sambil melawan, melawan sambil tertawa. Dialah Anak Gembala, Rumahnya di belakang sungai, pintunya setinggi batu, tertutupi pohon handeuleum dan hanjuang. Apa yang dia gembalakan? bukan kerbau bukan domba, bukan pula harimau ataupun banteng, tetapi ranting daun kering dan sisa potongan pohon. Dia terus mencari, mengumpulkan semua yang dia temui, tapi akan menemui banyak sejarah/kejadian, selesai jaman yang satu datang lagi satu jaman yang jadi sejarah/kejadian baru, setiap jaman membuat sejarah. Setiap waktu akan berulang itu dan itu lagi.”

Dari bait di atas digambarkan bahwa sosok ”Budak Angon” adalah sosok yang misterius dan tersembunyi. Apa yang dilakukannya bukanlah seperti seorang penggembala pada umumnya, akan tetapi terus berjalan mencari hakekat jawaban dan mengumpulkan apa yang menurut orang lain dianggap sudah tidak berguna atau bermanfaat. Dalam hal ini dilambangkan dengan ranting daun kering dan tunggak pohon.

Sehingga secara hakekat yang dimaksudkan semua itu sebenarnya adalah hal-hal yang berkaitan dengan sejarah kejadian (asal-usul/sebab-musabab) termasuk karya-karya warisan leluhur seperti halnya yang kita baca ini. Dimana hal-hal semacam itu karena kemajuan jaman oleh generasi digital sekarang ini dianggap sudah usang/kuno tidak berguna dan bermanfaat. Pada akhirnya yang tersirat dalam hakekat perjalanan panjang sejarah negeri ini adalah berputarnya roda Cokro Manggilingan (pengulangan perjalanan sejarah).

Gambaran situasi jaman dalam naskah Wangsit Siliwangi diawali dengan lambang datangnya ”Kerbau Bule” dan juga ”Monyet-monyet” yang kemudian ganti menyerbu selepas Kerbau Bule pergi. Ilustrasi ini melambangkan saat datangnya para penjajah yang berdatangan ke negeri ini, baik itu Portugis maupun Belanda. Dengan politik adu domba mereka maka terjadi peperangan antar saudara. Sejarah banyak yang hilang dan diputarbalikkan. Seperti yang tertulis berikut ini :

”Daréngékeun! Nu kiwari ngamusuhan urang, jaradi rajana ngan bakal nepi mangsa: tanah bugel sisi Cibantaeun dijieun kandang kebo dongkol. Tah di dinya, sanagara bakal jadi sampalan, sampalan kebo barulé, nu diangon ku jalma jangkung nu tutunjuk di alun-alun. Ti harita, raja-raja dibelenggu. Kebo bulé nyekel bubuntut, turunan urang narik waluku, ngan narikna henteu karasa, sabab murah jaman seubeuh hakan.
Ti dinya, waluku ditumpakan kunyuk; laju turunan urang aya nu lilir, tapi lilirna cara nu kara hudang tina ngimpi. Ti nu laleungit, tambah loba nu manggihna. Tapi loba nu pahili, aya kabawa nu lain mudu diala! Turunan urang loba nu hanteu engeuh, yén jaman ganti lalakon ! Ti dinya gehger sanagara. Panto nutup di buburak ku nu ngaranteur pamuka jalan; tapi jalan nu pasingsal!

Nu tutunjuk nyumput jauh; alun-alun jadi suwung, kebo bulé kalalabur; laju sampalan nu diranjah monyét! Turunan urang ngareunah seuri, tapi seuri teu anggeus, sabab kaburu: warung béak ku monyét, sawah béak ku monyét, leuit béak ku monyét, kebon béak ku monyét, sawah béak ku monyét, cawéné rareuneuh ku monyét. Sagala-gala diranjah ku monyét. Turunan urang sieun ku nu niru-niru monyét. Panarat dicekel ku monyet bari diuk dina bubuntut. Walukuna ditarik ku turunan urang keneh. Loba nu paraeh kalaparan. ti dinya, turunan urang ngarep-ngarep pelak jagong, sabari nyanyahoanan maresék caturangga. Hanteu arengeuh, yén jaman geus ganti deui lalakon.”

• ”Dengarkan! yang saat ini memusuhi kita, akan berkuasa hanya untuk sementara waktu tanahnya kering padahal di pinggir sungai Cibantaeun dijadikan kandang kerbau kosong. Nah di situlah, sebuah negara akan pecah, pecah oleh kerbau bule, yang digembalakan oleh orang yang tinggi dan memerintah di pusat kota. Semenjak itu, raja-raja dibelenggu. Kerbau bule memegang kendali, dan keturunan kita hanya jadi orang suruhan. Tapi kendali itu tak terasa sebab semuanya serba dipenuhi dan murah serta banyak pilihan.

• Semenjak itu, pekerjaan dikuasai monyet. Suatu saat nanti keturunan kita akan ada yang sadar, tapi sadar seperti terbangun dari mimpi. Dari yang hilang dulu semakin banyak yang terbongkar. Tapi banyak yang tertukar sejarahnya, banyak yang dicuri bahkan dijual! Keturunan kita banyak yang tidak tahu, bahwa jaman sudah berganti! Pada saat itu geger di seluruh negara. Pintu dihancurkan oleh mereka para pemimpin, tapi pemimpin yang salah arah!Yang memerintah bersembunyi, pusat kota kosong, kerbau bule kabur.

• Negara pecahan diserbu monyet! keturunan kita enak tertawa, tapi tertawa yang terpotong, sebab ternyata, pasar habis oleh penyakit, sawah habis oleh penyakit, tempat padi habis oleh penyakit, kebun habis oleh penyakit, perempuan hamil oleh penyakit. semuanya diserbu oleh penyakit. Keturunan kita takut oleh segala yang berbau penyakit. Semua alat digunakan untuk menyembuhkan penyakit sebab sudah semakin parah. yang mengerjakannya masih bangsa sendiri. Banyak yang mati kelaparan. Semenjak itu keturunan kita banyak yang berharap bisa bercocok tanam sambil sok tahu membuka lahan. Mereka tidak sadar bahwa jaman sudah berganti cerita lagi.”

Kemudian akhirnya masuk pada masa Perang Dunia II dengan datangnya pasukan Jepang yang dilambangkan dengan gemuruh yang datang dari ujung laut utara. Dimana masa penjajahan Jepang menandai berakhirnya penindasan di negeri ini. Terutama peristiwa jatuhnya bom atom di Nagasaki dan Hiroshima oleh Amerika, sebagai perlambang dalam naskah Wangsit Siliwangi bahwa situasi carut marut yang terjadi ada yang menghentikan yaitu orang seberang.

”Laju hawar-hawar, ti tungtung sagara kalér ngaguruh ngagulugur, galudra megarkeun endog. Génjlong saamparan jagat! Ari di urang ? Ramé ku nu mangpring. Pangpring sabuluh-buluh gading. Monyét ngumpul ting rumpuyuk. Laju ngamuk turunan urang; ngamukna teu jeung aturan. loba nu paraéh teu boga dosa. Puguh musuh, dijieun batur; puguh batur disebut musuh. Ngadak-ngadak loba nu pangkat nu maréntah cara nu édan, nu bingung tambah baringung; barudak satepak jaradi bapa. nu ngaramuk tambah rosa; ngamukna teu ngilik bulu. Nu barodas dibuburak, nu harideung disieuh-sieuh. Mani sahéng buana urang, sabab nu ngaramuk, henteu beda tina tawon, dipaléngpéng keuna sayangna. Sanusa dijieun jagal. Tapi, kaburu aya nu nyapih; nu nyapihna urang sabrang.”

• ”Lalu sayup-sayup dari ujung laut utara terdengar gemuruh, burung menetaskan telur. Riuh seluruh bumi! sementara di sini? Ramai oleh perang, saling menindas antar sesama. Penyakit bermunculan di sana sini. Lalu keturunan kita mengamuk: mengamuk tanpa aturan. Banyak yang mati tanpa dosa, jelas-jelas musuh dijadikan teman; yang jelas-jelas teman dijadikan musuh. Mendadak banyak pemimpin dengan caranya sendiri. yang bingung semakin bingung. Banyak anak kecil sudah menjadi bapa. Yang mengamuk tambah berkuasa; mengamuk tanpa pandang bulu. Yang Putih dihancurkan, yang Hitam diusir. Kepulauan ini semakin kacau, sebab banyak yang mengamuk, tidak beda dengan tawon, hanya karena dirusak sarangnya. Seluruh nusa dihancurkan dan dikejar. Tetapi, ada yang menghentikan, yang menghentikan adalah orang seberang.”

Lalu selanjutnya terdapat suatu masa yang digambarkan dengan munculnya seorang pemimpin negeri ini dengan gambaran sebagai berikut:
”Laju ngadeg deui raja, asalna jalma biasa. Tapi mémang titisan raja. Titisan raja baheula jeung biangna hiji putri pulo Dewata. da puguh titisan raja; raja anyar hésé apes ku rogahala!”

• ”Lalu berdiri lagi penguasa yang berasal dari orang biasa. Tapi memang keturunan raja dahulu kala dan ibunya adalah seorang putri Pulau Dewata. Karena jelas keturunan raja penguasa baru susah dianiaya!”

Siapakah sosok yang dimaksud dalam bait ini? Dia adalah Soekarno, Presiden RI pertama. Ibunda Soekarno adalah Ida Ayu Nyoman Rai seorang putri bangsawan Bali. Ayahnya seorang guru bernama Raden Soekeni Sosrodihardjo. Namun dari penelusuran secara spiritual, ayahanda Soekarno sejatinya adalah Kanjeng Susuhunan Pakubuwono X. Nama kecil Soekarno adalah Raden Mas Malikul Koesno. Beliau termasuk ”anak ciritan” dalam lingkaran kraton Solo. (Silakan dibuktikan..) Pada masa kepemimpinan Soekarno banyak terjadi upaya pembunuhan terhadap diri beliau, namun selalu saja terlindungi dan terselamatkan.

Selanjutnya setelah berganti masa digambarkan bahwa semakin maju semakin banyak penguasa yang buta tuli, memerintah sambil menyembah berhala. Kondisi ini melambangkan pemimpin yang tidak mau mengerti penderitaan rakyat. Memerintah tidak dengan hati tapi segala sesuatunya hanya mengandalkan akal pikiran/logika dan kepentingan pribadi ataupun kelompok sebagai berhalanya. Sehingga yang terjadi digambarkan banyak muncul peristiwa di luar penalaran.

Menjadikan orang-orang pintar hanya bisa omong alias pinter keblinger, seperti yang dikatakan sebagai berikut:

”Mingkin hareup mingkin hareup, loba buta nu baruta, naritah deui nyembah berhala. Laju bubuntut salah nu ngatur, panarat pabeulit dina cacadan; da nu ngawalukuna lain jalma tukang tani. Nya karuhan, taraté hépé sawaréh, kembang kapas hapa buahna; buah paré loba nu teu asup kana aseupan. Da bonganan, nu ngebonna tukang barohong; nu tanina ngan wungkul jangji; nu palinter loba teuing, ngan pinterna kabalinger.”

• ”Semakin maju semakin banyak penguasa yang buta tuli, memerintah sambil menyembah berhala. Lalu anak-anak muda salah pergaulan, aturan hanya menjadi bahan omong¬an, karena yang membuatnya bukan orang yang mengerti aturan itu sendiri. Sudah pasti bunga teratai hampa sebagian, bunga kapas kosong buahnya, buah pare banyak yang tidak masuk kukusan. Sebab yang berjanjinya banyak tukang bohong, semua diberangus janji-janji belaka, terlalu banyak orang pintar, tapi pintar keblinger.”

Lalu dalam situasi dan kondisi tersebut yang tidak berbeda dengan saat ini kemudian muncul sosok orang yang dikatakan dalam naskah Wangsit Siliwangi sebagai berikut:
”Ti dinya datang budak janggotan. Datangna sajamang hideung bari nyorén kanéron butut, ngageuingkeun nu keur sasar, ngélingan nu keur paroho. Tapi henteu diwararo! Da pinterna kabalinger, hayang meunang sorangan. Arinyana teu areungeuh, langit anggeus semu beureum, haseup ngebul tina pirunan. Boro-boro dék ngawaro, malah budak nu janggotan, ku arinyana ditéwak diasupkeun ka pangbérokan. Laju arinyana ngawut-ngawut dapur batur, majarkeun néangan musuh; padahal arinyana nyiar-nyiar pimusuheun.

Sing waspada! Sabab engké arinyana, bakal nyaram Pajajaran didongéngkeun. Sabab sarieuneun kanyahoan, saenyana arinyana anu jadi gara-gara sagala jadi dangdarat. Buta-buta nu baruta; ming¬kin hareup mingkin bedegong, ngaleuwihan kebo bulé. Arinyana teu nyaraho, jaman manusa dikawasaan ku sato!”

• ”Pada saat itu datang pemuda berjanggut, datangnya memakai baju serba hitam sambil menyanding sarung tua. Membangunkan semua yang salah arah, mengingatkan pada yang lupa, tapi tidak dianggap. Karena pintar keblinger, maunya menang sendiri. Mereka tidak sadar, langit sudah memerah, asap mengepul dari perapian. Alih-alih dianggap, pemuda berjanggut ditangkap dimasukan ke penjara. Lalu mereka mengacak-ngacak tanah orang lain, beralasan mencari musuh tapi sebenarnya mereka sengaja membuat permusuhan.

Waspadalah! sebab mereka nanti akan melarang untuk menceritakan Pajajaran. Sebab takut ketahuan, bahwa me¬reka yang jadi gara-gara selama ini. Penguasa yang buta, semakin hari semakin berkuasa melebihi kerbau bule, mereka tidak sadar jaman manusia sudah dikuasai oleh kelakuan hewan.”
Sosok ”Pemuda Berjanggut” di atas adalah lambang laki-laki sejati yang sangat kuat prinsip dan akidahnya serta selalu eling (dilambangkan dengan baju serba hitam). Dan dia juga seorang yang tekun dan taat beribadah serta kuat dalam memegang ajaran leluhur (dilambangkan dengan menyanding sarung tua). Digambarkan bahwa di tengah situasi negeri yang panas membara (carut marut) dimana manusia dipenuhi nafsu angkara, ”Pemuda Berjanggut” datang mengingatkan yang pada lupa untuk kembali eling. Namun tidak dianggap.

Lalu pada alinea menjelang akhir dikatakan :
”Jayana buta-buta, hanteu pati lila; tapi, bongan kacarida teuing nyangsara ka somah anu pada ngarep-ngarep caringin reuntas di alun-alun. Buta bakal jaradi wadal, wadal pamolahna sorangan. Iraha mangsana? Engké, mun geus témbong budak angon! Ti dinya loba nu ribut, ti dapur laju salembur, ti lembur jadi sanagara! Nu barodo jaradi gélo marantuan nu garelut, dikokolotan ku budak buncireung! Matakna garelut? Marebutkeun warisan. Nu hawek hayang loba; nu boga hak marénta bagianana. Ngan nu aréling caricing. Arinyana mah ngalalajoan. Tapi kabarérang.”

• ”Kekuasaan penguasa buta tidak berlangsung lama, tapi karena sudah kelewatan menyengsarakan rakyat yang sudah berharap agar ada mu’jizat datang untuk mereka. Penguasa itu akan menjadi tumbal, tumbal untuk perbuatannya sendiri. Kapan waktunya? Nanti, saat munculnya Anak Gembala! Di situ akan banyak huru-hara, yang bermula di satu daerah semakin lama semakin besar meluas di seluruh negara. Yang tidak tahu menjadi gila dan ikut-ikutan menyerobot dan bertengkar, dipimpin oleh pemuda gendut! Sebabnya bertengkar? memperebutkan tanah. Yang sudah punya ingin lebih, yang berhak meminta bagiannya. Hanya yang sadar pada diam, mereka hanya menonton tapi tetap terbawa-bawa.”
Situasi tersebut di atas adalah gambaran apa yang terjadi sekarang ini. Kalau kita perhatikan dengan cermat alinea ini, maka memang saat ini seluruh rakyat sedang berharap-harap menunggu datangnya mu’jizat di tengah-tengah carut marut yang sedang berlangsung di negeri ini. Lebih-lebih utamanya rakyat korban lumpur Lapindo yang kian hari makin kian sengsara. Bencana datang bertubi-tubi. Huru-hara terjadi di mana-mana. Dan akhir-akhir ini banyak sekali terjadi kasus perebutan tanah.

Fenomena paling tragis dalam perebutan tanah pada masa ini (2007) ditandai dengan kasus Pasuruan yang membawa 4 korban tewas rakyat kecil di tangan aparat. Pemuda Gendut merupakan lambang orang yang rakus dan serakah serta memiliki kepentingan pribadi.

Dalam bait ini dikatakan bahwa penguasa tersebut akan tumbang pada saat munculnya “Budak Angon”. Dimana kemunculannya ditandai dengan banyak terjadi huru-hara yang bermula di daerah lalu meluas ke seluruh negeri.
Dalam mengkaji Wangsit Siliwangi ini kita telah menemui lelakon atau pemeran utama yang dikatakan dengan istilah ”Budak Angon” (Anak Gembala) dan ”Budak Janggotan” (Pemuda Berjanggut). Coba mari kita simak alinea berikut :

”Nu garelut laju rareureuh; laju kakara arengeuh; kabéh gé taya nu meunang bagian. Sabab warisan sakabéh béak, béakna ku nu nyarekel gadéan. Buta-buta laju nyarusup, nu garelut jadi kareueung, sarieuneun ditempuhkeun leungitna nagara. Laju naréangan budak angon, nu saungna di birit leuwi nu pantona batu satangtung, nu dihateup ku handeuleum ditihangan ku hanjuang. Naréanganana budak tumbal. sejana dék marénta tumbal. Tapi, budak angon enggeus euweuh, geus narindak babarengan jeung budak anu janggotan; geus mariang pindah ngababakan, parindah ka Lebak Cawéné!”

• ”Yang bertengkar lalu terdiam dan sadar ternyata mereka memperebutkan pepesan kosong, sebab tanah sudah habis oleh mereka yang punya uang. Para penguasa lalu menyusup, yang bertengkar ketakutan, ketakutan kehilangan negara, lalu mereka mencari Budak Angon, yang rumahnya di ujung sungai yang pintunya setinggi batu, yang rimbun oleh pohon handeuleum dan hanjuang. Semua mencari tumbal, tapi Budak Angon sudah tidak ada, sudah pergi bersama Budak Janggotan, pergi membuka lahan baru di Lebak Cawéné!”
Perselisihan yang terjadi adalah sia-sia belaka. Karena selalu saja pihak penguasa membantu yang kuat, berdiri angkuh di atas yang lemah. Ada saat dimana ”wong cilik” sebagai lambang ”si lemah yang tertindas” mencari penuh harap sosok ”Budak Angon dan Budak Janggotan.” Namun yang dicari sulit ditemukan karena telah pergi ke Lebak Cawéné. Dimanakah Lebak Cawéné ? Lebak Cawéné adalah suatu lembah seperti cawan, yang dikatakan di dalam Serat Musarar Joyoboyo sebagai Gunung Perahu. Tempat itu digambarkan sebagai suatu lembah atau bukit dimana permukaannya cekung seperti tertumbuk perahu besar. Dikatakan oleh bapak Budi Marhaen, secara gambaran spiritual, di tempat itu terdapat 2 sumber air besar dan ditandai dengan 3 pohon beringin (Ringin Telu).

Lebih lanjut dikatakan :
”Nu kasampak ngan kari gagak, keur ngelak dina tutunggul. Daréngékeun! Jaman bakal ganti deui. tapi engké, lamun Gunung Gedé anggeus bitu, disusul ku tujuh gunung. Génjlong deui sajajagat. Urang Sunda disarambat; urang Sunda ngahampura. Hadé deui saka-béhanana. Sanagara sahiji deui. Nusa Jaya, jaya deui; sabab ngadeg ratu adil; ratu adil nu sajati. Tapi ratu saha? Ti mana asalna éta ratu? Engké ogé dia nyaraho. Ayeuna mah, siar ku dia éta budak angon! Jig geura narindak! Tapi, ulah ngalieuk ka tukang!”

• ”Yang ditemui hanya gagak yang berkoar di dahan mati. Dengarkan! jaman akan berganti lagi, tapi nanti, setelah Gunung Gede meletus, disusul oleh tujuh gunung. Ribut lagi seluruh bumi. Orang sunda dipanggil-panggil, orang sunda memaafkan. Baik lagi semuanya. Negara bersatu kembali. Nusa jaya lagi, sebab berdiri ratu adil, ratu adil yang sejati. Tapi ratu siapa? darimana asalnya sang ratu? Nanti juga kalian akan tahu. Sekarang, carilah Anak Gembala. Segeralah pergi. Tapi ingat, jangan menoleh ke belakang!”

Perlambang gagak berkoar di dahan mati bermakna situasi dimana banyak suara-suara tanpa arti. Rakyat menjerit-jerit, penguasa mengumbar janji-janji kosong. Sedangkan negara digambarkan banyak ditimpa bencana. Sekarang ini banyak gunung di nusantara sedang aktif bahkan beberapa gunung telah meletus. Ribut seluruh bumi merupakan lambang keresahan dunia internasional dewasa ini terhadap perubahan iklim dunia dan pemanasan global. Hal ini ditandai dengan banyak bencana yang terjadi di banyak negara.

Nampaknya kita sedang memasuki tahapan situasi ini. Mari kita renungkan dan perhatikan dengan apa yang sedang terjadi di seluruh negeri ini. Gunung-gunung telah mulai aktif, banyak terjadi bencana dengan unsur Air, Api, Angin dan Tanah dimana-mana, banyak pula terjadi huru-hara (demonstrasi/kerusuhan) sebagai lambang ketidakpuasan di berbagai tempat. Apakah ini terjadi secara kebetulan ? Tentu bagi yang memahami, ini semua adalah merupakan skenario langit.

Lalu, siapakah ”Budak Angon” itu ? Dari bait tersebut diperlambangkan bahwa budak angon adalah orang sunda atau berdarah sunda. Hal ini akan kita bedah lagi setelah sampai pada kesimpulan setelah kita mengkaji karya-karya leluhur lainnya.

Serat Musarar Joyoboyo

Di dalam uraian ini saya akan mengawali dengan menandai suatu masa atau periode dalam Sinom bait 18 yang berbunyi :
”Dene jejuluke nata, Lung gadung rara nglingkasi, Nuli salin gajah meta, Semune tengu lelaki, Sewidak warsa nuli, Ana dhawuhing bebendu, Kelem negaranira, Kuwur tataning negari, Duk semana pametune wong ing ndesa.”

• ”Nama rajanya Lung gadung rara nglikasi kemudian berganti gajah meta semune tengu lelaki. Enam puluh tahun menerima kutukan sehingga tenggelam negaranya dan hukum tidak karu-karuan. Waktu itu pajaknya rakyat adalah..”

Lung gadung rara nglikasi memiliki makna yaitu pemimpin yang penuh inisiatif (cerdas) namun memiliki kelemahan sering tergoda wanita. Perlambang ini menunjuk kepada presiden pertama RI, Soekarno. Sedangkan Gajah meta semune tengu lelaki bermakna pemimpin yang kuat karena disegani atau ditakuti namun akhirnya terhina atau nista. Perlambang ini menunjuk kepada presiden kedua RI, Soeharto. Dalam bait ini juga dikatakan bahwa negara selama 60 tahun menerima kutukan sehingga tidak ada kepastian hukum. Ingat, usia kemerdekaan NKRI di tahun 2007 saat ini adalah 62 tahun.

Dalam bait 20 dikatakan :
”Bojode ingkang negara, Narendra pisah lan abdi, Prabupati sowang-sowang, Samana ngalih nagari, Jaman Kutila genti, Kara murka ratunipun, Semana linambangan, Dene Maolana Ngali, Panji loro semune Pajang Mataram.”

• ”Negara rusak. Raja berpisah dengan rakyat. Bupati berdiri sendiri-sendiri. Kemudian berganti jaman Kutila. Rajanya Kara Murka. Lambangnya Panji loro semune Pajang Mataram.”

Bait ini menggambarkan situasi negara yang kacau. Pemimpin jauh dari rakyat, dan dimulainya era baru dengan apa yang dinamakan otonomi daerah sebagai implikasi bergulirnya reformasi (Jaman Kutila). Karakter pemimpinnya saling jegal untuk saling menjatuhkan (Raja Kara Murka). Perlambang Panji loro semune Pajang – Mataram bermakna ada dua kekuatan pimpinan yang berseteru, yang satu dilambangkan dari trah Pajang (Joko Tingkir), dan yang lain dilambangkan dari trah Mataram (Pakubuwono). Hal ini menunjuk kepada era Gus Dur dan Megawati.

Lalu pada bait 21 tertulis :

”Nakoda melu wasesa, Kaduk bandha sugih wani, Sarjana sirep sadaya, Wong cilik kawelas asih, Mah omah bosah-basih, Katarajang marga agung, Panji loro dyan sirna, Nuli Rara ngangsu sami, Randha loro nututi pijer tetukar.”

• ”Nakhoda ikut serta memerintah. Punya keberanian dan kaya. Sarjana (orang pandai) tidak berdaya. Rakyat kecil sengsara. Rumah hancur berantakan diterjang jalan besar. Kemudian diganti dengan lambang Rara ngangsu, randha loro nututi pijer tetukar.”

Situasi negara dalam bait ini digambarkan bahwa kekuatan asing memiliki pengaruh yang sangat besar. Orang pandai berpendidikan tinggi dilambangkan tidak berdaya (pinter keblinger). Kondisi rakyat kecil makin sengsara saja. Perlambang Rara ngangsu, randha loro nututi pijer tetukar bermakna seorang pemimpin wanita yang selalu diintai oleh dua saudara wanitanya seolah ingin menggantikan. Perlambang ini menunjuk kepada Megawati, presiden RI kelima yang selalu dibayangi oleh Rahmawati dan Sukmawati.

Pada bait 22 dikatakan :

”Tan kober paes sarira, Sinjang kemben tan tinolih, Lajengipun sinung lambang, Dene Maolana Ngali, Samsujen Sang-a Yogi, Tekane Sang Kala Bendu, Ing Semarang Tembayat, Poma den samya ngawruhi, Sasmitane lambang kang kocap punika.”

• ”Tan kober paes sarira, Sinjang kemben tan tinolih itu sebuah lambang yang menurut Seh Ngali Samsujen datangnya Kala Bendu. Di Semarang Tembayat itulah yang mengerti/memahami lambang tersebut.”

Perlambang Tan kober paes sarira, Sinjang kemben tan tinolih bermakna pemimpin yang tidak sempat mengatur negara karena direpotkan dengan berbagai masalah. Ini menunjuk kepada presiden RI keenam saat ini yaitu Susilo Bambang Yudhoyono. Sedangkan perlambang Semarang Tembayat merupakan tempat dimana tempat seseorang memahami dan mengetahui solusi dari apa yang terjadi. Semarang Tembayat merupakan tempat yang masih misteri dimana di dalam Surat

Terbuka kepada SBY bapak Budi Marhaen menggambarkan sbb :

”Jawaban dan solusi guna mengatasi carut marut keadaan bangsa ini ada di ”Semarang Tembayat” yang telah diungkapkan oleh Prabu Joyoboyo. Guna membantu memecahkan misteri ini dapatlah saya pandu sebagai berikut :

1. Sunan Tembayat adalah Bupati pertama Semarang. Sedangkan tempat yang dimaksud adalah lokasi dimana Kanjeng Sunan Kalijaga memerintahkan kepada Sunan Tembayat untuk pergi ke Gunung Jabalkat (Klaten). Secara potret spiritual, lokasi itu dinamakan daerah “Ringin Telu” (Beringin Tiga), berada di daerah pinggiran Semarang.

2. Semarang Tembayat juga bermakna Semarang di balik Semarang. Maksudnya adalah di balik lahir (nyata), ada batin (gaib). Kerajaan gaib penguasa Semarang adalah “Barat Katiga”. Insya Allah lokasinya adalah di daerah “Ringin Telu” itu.

3. Semarang Tembayat dapat diartikan : Semaranglah tempatnya barat daya tepi. Dapat diartikan lokasinya adalah di Semarang pinggiran arah Barat Daya.”
Kemudian pada bait 27 berbunyi :
“Dene besuk nuli ana, Tekane kang Tunjung putih, semune Pudhak kasungsang, Bumi Mekah dennya lair, Iku kang angratoni, Jagad kabeh ingkang mengku, Juluk Ratu Amisan, Sirep musibating bumi, Wong nakoda milu manjing ing samuwan,”

• “Kemudian kelak akan datang Tunjung putih semune Pudak kasungsang. Lahir di bumi Mekah. Menjadi raja di dunia, bergelar Ratu Amisan, redalah kesengsaraan di bumi, nakhoda ikut ke dalam persidangan.”

Perlambang Tunjung putih semune Pudak kasungsang memiliki makna seorang pemimpin yang masih tersembunyi berhati suci dan bersih. Inilah seorang pemimpin yang dikenal banyak orang dengan nama “Satrio Piningit”. Lahir di bumi Mekah merupakan perlambang bahwa pemimpin tersebut adalah seorang Islam sejati yang memiliki tingkat ketauhidan yang sangat tinggi.

Sedangkan bait 28 tertulis :

“Prabu tusing waliyulah, Kadhatone pan kekalih, Ing Mekah ingkang satunggal, Tanah Jawi kang sawiji, Prenahe iku kaki, Perak lan gunung Perahu, Sakulone tempuran, Balane samya jrih asih, Iya iku ratu rinenggeng sajagad.”

• “Raja utusan waliyullah. Berkedaton dua di Mekah dan Tanah Jawa. Letaknya dekat dengan gunung Perahu, sebelah barat tempuran. Dicintai pasukannya. Memang raja yang terkenal sedunia.”
Bait ini menggambarkan bahwa pemimpin tersebut adalah hasil didikan atau tempaan seorang Waliyullah (Aulia) yang juga selalu tersembunyi.

Berkedaton di Mekah dan Tanah Jawa merupakan perlambang yang bermakna bahwa pemimpin tersebut selain ber-Islam sejati namun juga berpegang teguh pada kawruh Jawa (ajaran leluhur Jawa tentang laku utama). Sedangkan gunung Perahu seperti telah disinggung di atas adalah Lebak Cawéné. Kembali lagi, dimana tempatnya ? Kita telah membaca bait 22 di atas. Ya di Semarang Tembayat itulah tempatnya. Sedangkan tempuran adalah pertemuan dua sungai di muara yang biasanya digunakan untuk tempat bertirakat ”kungkum” bagi orang Jawa. Namun di sini tempuran bermakna ”watu gilang” sebagai tempat pertemuan alam fisik dan alam gaib. Dalam budaya spiritual Jawa keberadaan watu gilang sangat lekat dengan eksistensi seorang raja. Insya Allah.. Pemimpin tersebut akan mampu memimpin Nusantara ini dengan baik, adil dan membawa kepada kesejahteraan rakyat, serta menjadikan Nusantara sebagai ”barometer dunia. (Kumara )

Responses (2)

  1. Semarang tembayat… Yah… Boleh lah kakak kesana… Di sana ada makam wali yg bernama syech penanggalan… Di belakang itu ada beringin yg membentuk trisula mungkin itu juga yg di maksut beringin tiga.. boleh jalan2 di sekitar situ.. nanti kalo ada pohon kelem orang Jawa menyebut pakel Pelem.. dan poho AC.. atau rambutan yg lebat menutupi rumahnya yg di bawah… Turunlah.. kalo di urutkan melalui jps rumah itu pas di sebelah barat tempuran… Di atas rumahnya ada grujugan atau air terjun kecil yg mati… Hanya hidup di musim hujan. Lihatlah rumahnya yg reot. Pintu masuk kamarnya di halangi batu bergambar Kayon..gunungan wayang.. rumahnya banyak sampah kayu bekas.. atau dongkelan kayu nama ibunya Sunarti bapaknya Slamet… Yg sudah meninggal beberapa tahun lalu .. dia sekarang sendiri tanpa keluarga… Maksutnya kknya sendiri…dia menerema dhom pucuke cemoro dan Wijoyo Kusumo.. itu adalah pemberian hyang senang jagat yg berhak mengatur dunia

Tinggalkan Balasan

No More Posts Available.

No more pages to load.