Ayah…
Kau ajarkan ku tentang kebaikan..
Kau tunjukkan ku tentang arti cinta..
Kau jelaskan ku tentang makna kehidupan..
Dan kau mendidikku dengan sungguh kasih sayang..
Aku tak pernah mengerti bagaimana waktu ini cepat berganti, hingga aku menyadari bahwa aku seharusnya tak berada di tempat yang sama lagi. Aku pergi merantau ke luar kota untuk melanjutkan jenjang pendidikan. Meninggalkan keluarga demi mencari ilmu, mencari pengalaman, dan cita-cita yang akan ku raih.
Tapi tahukah? Ini tidak sesederhana pikiranku beberapa tahun lalu. Aku kira, terasa sangat menyenangkan jika berada di tempat baru dan memiliki teman baru. Hingga tak pernah terpikir olehku bahwa hal-hal yang mengusik hati seperti rindu dan masa lalu bisa datang begitu saja.
Jika waktu mau menunjukkan kemampuannya, aku ingin kembali ke dalam pelukan Ayah, melingkarkan lenganku pada lehermu atau sekedar tiduran dengan bantal perutmu yang besar.
Seperti dulu, ketika aku masih di rumah saat Ayah libur kerja. Sekarang, aku sangat kehilangan momen itu bersamamu.
Sesungguhnya, aku menyimpan kerinduan yang amat besar pada Ayah. Waktu untuk bertemu pun sangat sulit ditentukan.
Di saat Ayah pulang dari rantauan untuk libur kerja, sedangkan aku yang masih berada dirantauan untuk menuntut ilmu. Begitu terus, sampai pada akhirnya aku merasakan kurang lebih setahun tidak bertemu dengannya.
Seharusnya aku terbiasa dengan hal seperti ini, tanpa Ayah disampingku. Seperti dulu, ketika aku ditinggal Ayah merantau dan 2 atau 3 bulan sekali Ayah pulang.
Di rumah, Ayah tidak lama, hanya 2 minggu Ayah menyisakan waktu bersama adik, Ibu, dan aku. Tetapi aku sangat butuh Ayah untuk terus disampingku, menemaniku, serta menjagaku.
Sering kali keluhan keluar dari mulutku, tentang bagaimana sulitnya hidup di perantauan, tentang betapa kejamnya pergaulan, tentang kerasnya bertahan dalam dunia orang dewasa.
Tidak jarang aku melamun memikirkan tentang Ayah dan Ibu, bagaimana mudahnya aku ketika dulu masih selalu berada di samping kalian, bagaimana indahnya masa kanak-kanakku, bagaimana nyamannya aku untuk sekedar menatap setiap pergerakanmu, Ayah.
Ayah bagiku adalah sosok pahlawan yang istimewa. Ayah rela melakukan apa saja agar aku bahagia. Ayah juga mengajarkanku segala hal yang dia tahu.
Teringat kala itu Ayah sedang memperbaiki CPU yang rusak, aku diberitahunya segala benda yang terdapat di CPU tersebut dan yang terdapat dikotak tempatnya menyimpan peralatan elektronik. Hingga aku tahu apa itu resistor, kondensator, diode, dan transistor.
Saat aku jauh darimu, kamu tak pernah lupa untuk menasehatiku. “Mbak, jangan sampai lupa atau telat makan. Punya maag harus jaga pola makannya” kata Ayah.
Terkadang aku masih saja telat makan, hingga maagku kambuh dan aku dilarikan ke klinik terdekat untuk diperiksa dan diberi obat. Aku tak berani jujur ke Ayah bahwa aku sebenarnya bukan telat makan, tetapi aku tidak nafsu makan karena aku saat itu sedang bertengkar dengan kekasihku.
Lagi-lagi Ayah menjadi penguatku. Saat aku putus cinta dengan kekasihku, aku mendapat semangat dan kekuatan dari Ayah. Ayah berkata “Tidak masalah mbak, banyak pilihan, yang penting jaga dirimu dalam pergaulan. Allah telah menentukan pasanganmu dan tetaplah berdoa.”
Terharu melihat isi pesan yang Ayah sampaikan kepadaku. Tak hanya itu, sebelumnya Ayah juga pernah bilang “Memang benar, kita belum tahu itu jodohmu atau bukan. Paling tidak jangan terlalu berharap, Ayah cuma takut aja.” Dan Ayah juga pernah berpesan untuk selalu menjaga pergaulan.
Kekhawatiran yang Ayah rasakan cukup besar untukku. Ayah takut aku salah dalam pergaulan. Ayah takut aku disakiti oleh orang lain.
Dalam hati ayahku ingin selalu menjagaku, namun jarak dan waktu tak dapat menemukan. Aku sebagai pendengar yang baik sangat rindu mendengarkan cerita Ayah.
Dulu, dengan bahagianya Ayah menceritakan dunianya kepadaku, dari kisah cinta hingga kisah Ayah selama bekerja keras mencari rezeki.
Apapun yang Ayah katakan kepadaku, hanyalah untuk kebaikanku. Semua bertujuan untuk memberiku masa depan yang cerah.
Terima kasih atas segala yang Ayah lakukan untukku. Terima kasih telah menjaga dan menasehatiku. Terima kasih sudah menjadi penguat hatiku. Ayah, aku rindu Ayah. Aku ingin bertemu dengan Ayah. Dekap aku seperti dulu, Ayah.
(Indriani Suryaningrum)