Uniknya Budaya Jogjakarta Dalam Perspektif Mahasiswa Luar Jawa

oleh -34 Dilihat
oleh

Sudah sangat banyak cerita menarik dan unik tentang pengalaman mahasiswa yang dulunya mengenyam ilmu di kota gudeg ini.

Salah satu cerita yang “agak lain” dikisahkan oleh sembiring salah seorang mantan aktivis senator kampus biru dan kini berkarir melalui TNI.

Ia menuturkan banyak kenangan tak terlupakannya selama menjadi mahasiswa di Fisipol UGM ditahun 1988. Salah satunya adalah kisah “rahasia” yang sekarang diungkapnya ini.

Setelah pengumuman Sipenmaru tahun1988 dan ia dinyatakan lulus diterima di UGM, ia hanya perlu persiapan segala sesuatunya satu hari saja. Pada keesokan harinya ia langsung diberangkatkan ke Jakarta.

Menurutnya bahwa ini adalah pertamakalinya ia merantau dan bahkan belum pernah naik pesawat Garuda sebelumnya. Saat itu memang masih sangat langka orang dikampungnya di Siantar yang terbang bepergian menggunakan pesawat.

Singkat cerita sesampainya di Jakarta tanpa jeda sore harinya ia langsung naik kereta api ke Jogjakarta. Memang begitulah ciri khas anak Medan. BTL, singkatan dari Batak Tembak Langsung, istilah terkenal anak Medan.

Sembiring melanjutkan ceritanya, setibanya di Stasiun Tugu kota Jogjakarta ia langsung naik becak Jogja saat itu menuju ke daerah disekitar jalan Kaliurang mencari kos kosan yang paling dekat dengan kampusnya di UGM Bulaksumur.

Keberuntungan memang selalu menyertainya. Pada hari itu juga ia langsung berjodoh dan mendapatkan kos kosan yang sesuai dengan biaya sewa dikantongnya. Lokasi tepatnya di dusun Tawangsari yang jaraknya hanya 1 km dari Gedung Pusat UGM, disekitar jalan Kaliurang Km 5 Sleman Jogjakarta.

Ia melanjutkan kisahnya yang langsung seru sejak hari pertama di Jogja dimana saat pulang dari registrasi daftar ulang sebagai mahasiswa baru ia pulang kembali ke kos kosan. Rupanya ruangan sebelah kamar yang ditempatinya adalah ruang makan keluarga bapak Soeroto sang pemilik Rumah kos.

Siang itu cuaca Jogja memang sedang dingin karena baru selesai hujan. Saat ia menuju kamar kos dan melewati ruang makan keluarga pemilik kos, peristiwa “sejarah” penting tersebut pun terjadilah. Karena memang kamarnya tepat berada disamping ruang makan, dan bertepatan saat ia memasukkan kunci membuka pintu kamarnya dengan jelas terdengar suara ramah bapak Soeroto pemilik kos, “Monggo nak sembiring”, ucapnya sambil mengarahkan telunjuknya ke meja makan.

Tatapan yang ikhlas dan tulus …khas masyarakat Jogja, penjelasan Sembiring saat itu.

Mendengar disapa ramah seperti itu lalu ia tidak lupa membalas dan menjawab dengan salam yang diketahuinya secara umum “Selamat siang pak”, sambil menganggukan kepala. Ternyata kemudian sapaan ramah bapak kos tersebut diulangi lagi oleh ibu kos yang tak kalah ramahnya “monggo nak….”. sambil juga mengarahkan jempolnya kearah hidangan di meja makan yang sudah lengkap tersedia.

Sebakul nasi, sayur lodeh, tempe goreng, tahu bacem, telur asin dan ayam goreng serta teh manis panas yang terlihat masih mengepul. Aromanya sangat menggugah selera.

Melihat keramahan bapak dan ibu kos Ini menurut sembiring, ia jadi merasa tidak enak hati bila tuan rumah sudah mengajak makan dan kelamaan menunggu. Segera ia masuk dan duduk menyambut ajakan makan siang dari bapak ibu pemilik kos tersebut.

Suasana mulai menjadi agak sedikit kikuk ketika anak-anak pemilik kos sebanyak 4 orang mulai datang dan bergabung. Kursinya ternyata menjadi kurang satu. Sejak dahulu kala memang hanya ada 6 kursi dan 1 meja bulat sedang diruang makan tersebut.

Untung saja salah satu anak bapak kos sekonyong-konyong, tiba-tiba pamit keluar karena ada ketinggalan catatan kuliahnya di toko fotocopy disebelah rumah kos.

Setelah semua duduk, Sembiring menceritakan ia ikut santap siang bersama dengan keluarga bapak Soeroto dengan lahap. Dan ternyata karena menunya joss didukung hawa dingin sehabis hujan sehingga tambah menggugah selera. “Pastinya jadi nambah nasi dan lain lain secara lengkap (maklum anak kos),” ujarnya.

Suasana kos sore itu menjadi riuh ketika ia dipanggil dan “diinterogasi” oleh salah seorang mahasiswa senior yang kebetulan juga paling lama tinggalnya di kos kosan tersebut.

“Sepertinya enak sekali rejekimu siang tadi ya lae. Kok bisa kamu diundang bapak kos makan siang bersama, sedangkan aku sudah 7 tahun kos disini tidak pernah diajak makan sama bapak kos”. Protes sang mahasiswa senior yang kebetulan arek suraboyo ceplas ceplos saja kalau bicara, mirip seperti orang medan. To do Point. Right or wrong is my country.
Karena ditanyakan demikian ia lalu menceritakan kronologisnya sejak awal munculnya kalimat “sakti” bapak kos saat mau makan siang, “Monggo nak sembiring” sehingga menurutnya bahwa untuk membalas keramahan undangan bapak kos tersebut maka seperti yang biasa dilakukan dikampungnya di Sumatra Utara bahwa ucapan “monggo nak” yang disampaikan dengan sepenuh hati tersebut harus dibalas juga dengan sepenuh hati, dan sesegera mungkin.

Finalnya berlanjut dengan eksekusi makan bersama dan karena memang cocok menunya maka ia sekalian nambah nasi dan lain-lain.

Ketika kronologis itu diceritakan dengan polosnya maka tanpa diduga, meledaklah tawa terbahak-bahak semua rekannya sehingga menimbulkan suara gaduh dirumah kos.

Disinilah unik dan rumitnya budaya di Indonesia.

Rupanya menurut penjelasan rekan senior tadi bahwa memang tradisi orang Jogja terkenal sangat sopan. Bahwa ucapan “Monggo nak.” yang diucapkan oleh bapak kos saat mau makan siang itu hanyalah sekedar basa basi, hanya sopan santun budaya saja. Ternyata bukan maksudnya diajak makan sungguhan.

“BAH, Patutlah tadi siang ketika aku masuk ruang makan, kursinya kurang satu dan salah seorang anaknya sekonyong-konyong pamitan keluar seolah olah ada catatan kuliahnya yang tertinggal di toko fotocopy,” kata Sembiring.

“Padahal ternyata tujuannya adalah untuk tidak mempermalukan saya sebagai orang luar yang berbeda budaya kebiasaannya.
Setelah penjelasan tersebut baru saya sadari betapa luar biasa bijaksananya keluarga bapak kos dan anak nya ini,” kenangnya.

Belajar dari kisah unik ini, “lesson learning” nya yang dapat ditarik menurut Sembiring adalah bahwa Negara Indonesia ini luar biasa. Budayanya terbukti memang Adiluhur. Terbukti walaupun tidak pernah saling mengenal sebelumnya namun manusianya otomatis saling melengkapi dan saling melindungi. Walaupun sudah tidak bersama lagi. Karena sudah selesai menuntut ilmu.

Ia menceritakan setelah tamat kuliah pada tahun 1994, hingga saat ini sudah sebagai kolonel TNI silaturahminya dengan keluarga bapak Soeroto pemilik kos tersebut masih terjalin dengan sangat baik.

Karena contoh pengalaman nilai kekeluargaan khas Jogja yang pernah dialaminya itu, ia meyakini dan percaya bahwa sesungguhnya dimanapun kita berada dibelahan bumi Indonesia ini sama saja baiknya.

Tidak perlu under estimate. Siapapun warga negara Indonesia tidak perlu khawatir akan dilupakan atau dipinggirkan ketika berada diluar asal daerahnya. Tentunya juga dengan saling menghargai budaya setempat yang berlaku. Semua manusia Indonesia itu ditakdirkan saling bersaudara.

Terbukti, pada semua wilayah yang pernah dikunjunginya selama ini, masyarakatnya sangat menjunjung tinggi nilai kekeluargaan dan persaudaraan. Walaupun tidak pernah bertemu sebelumnya.

Ia menceritakan bahwa hal ini sudah dibuktikannya ketika bertugas dalam latihan dan pengamanan wilayah mulai dari ujung barat hingga kedaerah Saumlaki di Maluku Tenggara Barat dekat perbatasan dengan Australia. Semua masyarakatnya sangat bersahabat dan menjunjung tinggi nilai persaudaraan sesama anak bangsa. Tidak ada yang intoleran.

Sembiring berharap, pengalaman hidup sebagai orang luar yang diterima baik dalam budaya persahabatan kekeluargaan khas Jogjakarta ini harapnya dapat menjadi contoh nyata semangat persatuan diseluruh penjuru bumi pertiwi Indonesia.

“Bila semua rakyatnya saling menghormati dan menghargai perbedaan, pastilah
semakin jaya negeri Indonesia,” pungkasnya menutup cerita ditemani segelas kopi Raja kiriman buah tangan sahabatnya dari Tana Toraja sore itu di teras rumah dinasnya di Halim Perdanakusuma.

No More Posts Available.

No more pages to load.