Anak Pengungsi Syiah Terlantar, Komnas Perempuan Akan Berkoordinasi Dengan KSP

oleh
oleh

Perempuan beranak satu ini bertutur bahwa setelah diusir dari Sampang pada 2012 lalu, anak-anak mereka yang duduk di kelas 1 sampai 4 selama ini belajar rata-rata satu hingga satu setengah jam setiap harinya di pengungsian bersama guru honorer dari Dinas Pendidikan.

Sementara, di PAUD anak-anak tidak diberikan pelajaran baca, tulis dan berhitung. Mereka hanya bernyanyi dan menggambar. Sehingga sulit untuk mendapat nilai yang baik dalam kondisi pendidikan yang serba darurat.

“Kami menyekolahkan anak-anak agar tidak seperti orang tuanya yang tidak bisa membaca dan menulis, sehingga mudah dibodohi,” ungkapnya.

Untuk memperoleh pendidikan yang layak, beberapa anak yang kelas 4, 5 dan 6 mereka pindahkan ke SD Jemundo 1, meskipun pada awalnya anak-anak harus menanggung ledekan atau ejekan (bully) karena bahasa dan keyakinan mereka yang berbeda dari mayoritas murid di sekolah itu.

Rohah pun berandai-andai, jika tidak diusir dari Sampang, anak-anak mereka bisa sekolah di kampung halamannya dengan normal bersama-sama anak lainnya yang lebih leluasa mengejar cita-cita.

Karena keterbatasan pelayanan pendidikan yang mereka terima di pengungsian dan keinginan kuat agar anak-anaknya pintar dan bisa sekolah lebih tinggi, masing-masing dari mereka mulai membeli papan dan spidol, menempelkan huruf abjad dan angka di tembok-tembok kamar untuk mengajari anak-anaknya.

Demi memenuhi mimpi itu, baberapa rela berhutang, menjual pohon, sapi, bahkan tanah di kampungnya dengan harga murah untuk biaya sekolah anak-anak mereka ke jenjang yang lebih tinggi.

Kendati per-kepala mendapat jatah hidup dari pemerintah Rp 709.000, mereka juga berusaha memperoleh penghasilan dengan menjadi buruh mengupas kelapa dan melepaskan daging dari batoknya.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

No More Posts Available.

No more pages to load.