Menurutnya, Keputusan yang diambil menko maritim tidak dibarengi dengan hasil kajian berupa dokumen maupun naskah akademik yang disebar kepada publik. Sehingga, masyarakat tidak dapat menilai apa saja yang menjadi pertimbangan dalam keputusan yang diambil tersebut. Berbeda dengan keputusan moratorium sebelumnya yang hasil kajiannya bisa diakses dan bersifat transparan. Selain itu, penundaan dan pemindahan lokasi konferensi pers pada selasa lalu menunjukan sifat pengecut seorang menteri. Pasalnya konferensi pers yang akan dilakukan itu dikawal oleh aksi demonstrasi mahasiswa BEM Seluruh Indonesia dan nelayan.
“Baru setelah aksi demonstrasi bubar, menko melaksanakan konferensi pers. Seharusnya jika proyek ini tidak bermasalah menteri tidak harus takut berhadapan dengan publik, rakyatnya sendiri,” ungkapnya.
Tidak hanya sampai disitu, Tito menjelaskan lebih jauh bahwa ketika konferensi pers hendak dilaksanakan nyatanya pengawalan mahasiswa tetap berlanjut. Mahasiswa dari BEM UI hadir untuk mempertanyakan keputusan dilanjutkannya reklamasi. Secara mendadak terjadilah audiensi dan pemaparan kementerian kepada mahasiswa. Terjadilah dialektika dan tidak sedikit pemaparan menteri mampu disanggah oleh mahasiswa.
“Menariknya, rekaman berupa video, audio, dll diminta untuk dihapus oleh menteri. Hal ini menunjukan rasa ketakutan dari hasil kajian yang masih belum transparan dan mempertegas bahwa tidak ada alasan untuk melanjutkan reklamasi, karena banyak kejanggalan disana sini,” ungkapnya lagi.