Ia malah bangga karena ia berhasil membongkar sarang lebah dan membuat ngamuk banyak diantaranya, dan ia menikmatinya. Ia mengajak berantem siapa saja.
Tapi ia luluh dengan rakyat kecil. Ia leleh dengan saudaranya yg beda agama. Ia membangun dan merenovasi fasilitas peribadatan menjadi megah.
Ahok membangun rusun-rusun mewah dengan semua perabotan di dalamnya untuk memanusiakan mereka yang mereka gusur (ditata) dalam format solusi.
Ia kembali menerjang sekat tebal bahwa ia seorang keturunan Tionghoa dan seorang nasrani. Ia merebut cinta mereka. Ia menari dan bahagia bersama mereka. Dan ia sangat menikmatinya.
Ahok menjadi perwakilan yang baik, seorang duta besar yang mewakili semua keturunan minoritas Tionghoa di Indonesia. Mereka bangga akan dia.
Kebanggaan yang sama yg dimiliki warga Etnis lainnya yang ingin memiliki pemimpin seperti dia di daerahnya. Ia meleburkan semua kebencian yang selama ini tertanam dan dipelihara begitu lama demi kepentingan, untuk membenturkan atas nama SARA.
Ia merobek semua pemikiran lama dan merevolusi cara berfikir warga Jakarta yang baru yang menekankan “apapun perbedaan kita, kita sama manusia untuk hidup secara bermartabat,” papar Deny Siregar (*)