Kompleksitas Falsafah Pilkada DKI Jakarta

oleh
oleh
ilustrasi gambar

Jakarta, sketsindonews – Ada pertarungan dalam proses pembentukan falsafah hidup kita. Dalam perjalanan hidup, kita bertemu dengan berbagai orang dan berbagai informasi kita terima. Kita tidak selalu bisa menyaring mana informasi yang benar dan mana yang tidak. Informasi bisa masuk secara alami ke pikiran dan dengan faktor-faktor yang tidak dapat dikontrol bisa menyelinap masuk ke dalam pikiran dan bercokol di sana. Sekali pemikiran itu menghuni pikiran, sulit pemikiran itu untuk digusur.

Kita bisa saja memegang ajaran agama tentang kematian, tetapi kita menggunakan falsafah modern tentang bisnis. Kita bisa  saja menerima nasihat orang tua tentang pasangan hidup, tetapi menggunakan filsafat Yunani mengenai demokrasi. Jadi, tidak mengherankan kalau beragam arus pemikiran menghuni pikiran kita. Kita tidak mempunyai sebuah konsep yang utuh dari satu sumber untuk membangun falsafah hidup kita. Jadi, besar peluang kalau kita tidak memiliki teori kehidupan yang konsisten, dalam artian bahwa teori yang kita terima tidak datang dari satu sumber arus pemikiran besar.

Para pendiri bangsa kita memahami kompleksitas falsafah hidup ini. Dengan keberagaman bangsa kita, tidak mungkin membangun sebuah negara dengan dasar sebuah agama. Pada tahun 1945, masyarakat ada yang beragam Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Buddha dan masih ada penganut aliran kepercayaan. Jadi, tidak mungkin menyatukan masyarakat dalam sebuah negara atas dasar agama. Satu agama tidak mungkin mengikat seluruh masyarakat. Konsep yang mungkin bisa mempersatukan adalah satu tanah air, satu bangsa, dan satu bahasa, seperti yang dikenal dengan istilah Sumpah Pemuda, yang dicetuskan pada tanggal 28 Oktober 1928.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

No More Posts Available.

No more pages to load.