Sehingga terjadilah keselarasan dan keseimbangan antara kebutuhan hidup penduduk dan lingkungan alam penunjang kehidupan penduduk dalam wilayah pemerintahan otonomi masing-masing.
Pembangunan manusia yang demikian adalah sintesa dari nation and character building, socio-ecomic building, dan democratie and human development yang selama ini telah dilaksanakan secara partial dan sectoral sehingga selalu menyisakan agenda besar yang tak terselesaikan dengan baik dalam tahapan pembangunan yang ada.
Pembangunan manusia seutuhnya membutuhkan ketiga orientasi tersebut secara terintegrasi, oleh semua komponen negara dan bangsa secara serempak sesuai dengan tugas, fungsi, kewenangan dan atau kewajiban masing-masing pihak.
Isu-isu kependudukan dan lingkungan hidup merupakan isu sentral sejak lama, akibat dari eksploitasi alam secara berlebihan yang disertai dengan ketidak adilan dalam pemanfaatannya bagi masyarakat sekitarnya.
Sehingga menimbulkan isu sentral pembangunan keberlanjutan dunia tentang berbagai ancaman terhadap manusia dan lingkungannya pemukimannya, mulai dari perubahan iklim, kebutuhan hutan bagi paru-paru dunia, hingga kesetaraan pemenuhan hak dasar setiap warga negara dan keluarga oleh pemerintahan negara masing-masing. Penduduk dan lingkungan alam kehidupannya memiliki hubungan saling mempengaruhi dan saling ketergantungan, dan tidak dapat salah satu terabaikan.
Perjalanan sejarah Indonesia pernah menyatukan kedua isu tersebut dalam tanggung jawab Kementrian Pembangunan Manusia (seutuhnya). Kemudian direduksi menjadi sumberdaya manusia. Sesungguhnya pembangunan kualitas kependudukan telah dijadikan salah satu aspek dalam pembangunan nasional yang ada, namun pelaksanaannya sangat parsial bahkan cenderung sektoral.
Secara konsepsional, kerangka kerja pembangunan manusia yang seutuhnya, telah dijabarkan dalam amanah Undang-Undang no. 52 tahun 2009, Tentang Perkembangan Kependudukan dan Pembangunan Keluarga (UU PKPK). UU PKPK juga mengamanahkan agar dapat dipastikan perkembangan kependudukan Indonesia pada semua wilayah dapat selaras dan seimbang antara jumlah penduduk, kualitas penduduk dan daya dukung lingkungan alam masing-masing wilayah.
Selain itu diamanahkan juga pembangunan keluarga sebagai basis bagi pembangunan karakter bangsa. Bukan keluarga yang mengangungkan kemajuan material yang mengagungkan pasar liberal dan capitalisme, melainkan membebaskan dari hal itu agar setiap manusia Indonesia memiliki dan menjiwai Trisakti.
Tingkat kemajemukan atau kebinekaan yang luas pada berbagai dimensi kehidupan secara natural dan sejarah, akan semakin kompleks dan rumit akibat interaksi global yang oleh Soekarno disebut sebagai suatu sistem Nekolim atau saat ini dikenal sebagai neolib.
Oleh karenanya menjadi wajar bila kemudian realitas kekinian dipenuhi oleh ancaman ketimpangan antar wilayah, ketimpangan antara yang berpunya dan tidak punya. Bahkan ketidakmampuan negara memenuhi dan melindungi hak konstitusi setiap warganya dalam memenuhi kebutuhan hak dasar warganya sebagai “manusia seutuhnya”.
Bahkan dalam beberapa kasus, negara belum bisa menghargai kebhinekaan warganya, yang ditingkahi oleh oteritarianisme teknokrasi yang cenderung menyeragamkan semua obyek pembangunannya, tidak terkecuali pada manusia yang bukan hanya sebagai obyek pembangunan semata, tetapi sekaligus sebagai subyek pembangunan itu sendiri.
Itulah mengapa pembangunan nasional haruslah diarahkan kepada pembangunan manusia yang seutuhnya. Manusia yang memiliki harkat dan martabat manusia sebagai mahluk sempurna ciptaan Tuhan yang diperankan sebagai “khalifah di muka bumi”.
Untuk mencapai tujuan tersebut, maka haruslah tersedia kebijakan pembangunan kependudukan yang berkualitas secara nasional. Tentunya kebijakan tersebut harus berdasarkan data dan informasi faktual dan terkini tentang perkembangan kependudukan yang terperinci dan dikoordinasikan bersama seluruh pihak terkait. Mengarusutamakan kebijakan pembangunan kependudukan sebagai dasar perencanaan pembangunan nasional adalah amanah undang-undang PKPK bagi seluruh kementerian sektoral dan pemerintahan otonomi daerah.
Tentunya ketersediaan data dan informasi kependudukan yang dibutuhkan bagi semua pihak yang terkait dengan perencanaan pembangunan nasional yang berwawasan kependudukan, dalam jangka pendek, jangka menengah dan jangka panjang harus dapat difasilitasi.
Selain itu haruslah tersedia tim adcocacy dan pendampingan bagi semua pihak yang membutuhkan dalam melaksanakan komitmen politik pembangunan yang berwawasan kependudukan. Secara teknokrasi kebutuhan tata kelola percepatan pembangunan kualitas kependudukan adalah ketersediaan instrumen percepatan pembangunan sebagai berikut;
- Perencanaan pembangunan nasional berdasarkan struktur kependudukan
- Pengendalian pertumbuhan penduduk (Kontrasepsi),
- Pembangunan keluarga (KB),
- Pengendalian kepadatan kependudukan (Tansmigrasi),
- Fasilitasi Pelaksanaan komitmen pembangunan berwawasan kependudukan (Tim advokasi, Tim Pendamping, Analisa data dan informasi perkembangan penduduk berdasarkan wilayah).
Apabila seluruh desain kebijakan pembangunan nasional berwawasan kependudukan seperti penejelasan diatas sebagai pendekatan bagi mewujudkan pembangunan manusia yang seutuhnya dapat terlaksana dengan baik, maka kegamangan dalam mendapatkan bonus demographi dan keterjebakan pada “middle trap incame”, tidak akan terjadi lagi.
Saat ini, berdasarkan regulasi yang ada, semua hal di atas menjadi tanggung jawab Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) yang pelaksanaannya harus berkoordinasi secara efektif dengan Kementerian dan Lembaga yang terkait serta Pemerintah Daerah dalam pencapaian tujuan regulasi tersebut.
Semoga Undang-Undang no. 52 tahun 2009, tentang Perkembangan Kependudukan dan Pembangunan Keluarga dapat dijadikan modal besar bagi peran strategis BKKBN di masa mendatang.
Hanibal Hamidi.
*Penulis adalah seorang Dokter yang juga peserta didik program Doktoral pada Institut Ilmu Pemerintahan Dalam Negeri (IPDN)