Review Film “22 Menit,” Catatan Deny JA

oleh
oleh

Di dalam kereta Churchill bertanya bagaimana jika Inggris berunding dengan Hittler? Di luar dugaan, rakyat jelata itu menentang keras. Bersahut-sahutan mereka menjawab. Ujar yang satu, jangan pernah kita tunduk pada yang zalim. Ujar yang lain, kita lawan Hittler dengan apapun yang kita punya.

Di antara hikuk pikuk suara rakyat yang gemuruh, Churchill mendapatkan inspirasi. Ujarnya, Inggris punya yang lebih hebat dari sekedar kekuatan militer. Inggris punya kehendak rakyat yang tak sudi untuk tunduk.

Churchill pun bergegas menuju parlemen. Ia membuat pidato yang kemudian historik. Inggris menolak berunding dengan Hittler. Inggris melawan.

Dalam film, percakapan Churchill dengan rakyat jelata di kereta bawah tanah sangatlah sentral. Percakapan itu sungguh menambah bobot film.

Tapi ternyata percakapan Churchill di kereta bawah tanah itu tak pernah ada dalam sejarah. Adegan Itu sepenuhnya fiksi. Dan ini fiksi yang sangat diperlukan untuk membuat film dramatik.

Aha! Ujar saya setelah menonton film “22 menit.” Film ini kurang bersedia memasukkan fiksi yang lebih dramatik ke dalam film. Penulis skenario dan sutradaranya tak mau mengambil teknik seperti film the Dark Hours.

Padahal dengan tambahan fiksi paling lama 15 menit lagi, film 22 menit akan lebih menyentuh. Ia akan lebih bisa misalnya membuat penonton menetes air mata, atau marah yang tak alang kepalang.

Kekurangan film ini kurang mengeksplor sisi drama, yang bisa dimainkan dengan memasukkan fiksi

Secara menyeluruh film 22 menit ini tetap enak ditonton. Kita tahu lebih detail sisi manusiawi dari para insan yang terlibat dalam peristiwa.

No More Posts Available.

No more pages to load.