G30S/PKI Polemik Setengah Abad, Beraroma Ideologi

oleh
oleh
Kuasa Hukum Korban First Travel, Riesqi Rahmadiansyah saat mendampingi korban First Travel melakukan aksi di depan Kementerian Agama, Jumat (16/3). (dok. sketsindonews.com)

Bahkan anak-anak dari pemimpin PKI seperti anak dari Aidit juga sangat sulit menjalani kehidupan. Mereka harus diawasi setiap saat, tentu ketika pada masa Pra Reformasi mereka menjadi Warga Negara kelas 2 yang diperlakukan layaknya seorang yang terkena virus serta wabah mematikan sehingga harus selalu dipantau.

Padahal dalam Doktrin Hukum Pidana, bahwa Pertanggung Jawaban Pidana tidak dapat diwariskan, serta pertanggungjawaban Pidana tidak bisa digantikan, karena dalam Unsur setiap Pasal Pidana dikatakan Barang Siapa yang menyasar Individu. Apalagi dalam Doktrin Politik, bahwa tidak ada yang abadi dalam Politik.

Bisa Saja D.N Aidit yang berkonsep Komunis memiliki anak yang berperspektif Liberal.

Tentu contoh ini sudah banyak dan Nyata. Lihat bagaimana anak-anak Soekarno yang berdiri dengan masing-masing pendirian seperti Rahmawati dan Megawati. Tentu Stigma terhadap para Ex-PKI dan keluarganya merupakan bagian dari pelanggaran HAM.

Lebih lanjut efek dari G30S/PKI serta perintah pemberangusan PKI membuat beberapa Warga Negara Indonesia harus kehilangan Warga Negaranya. Stateless atau Eksil itulah sebutan untuk mereka.

Penulis pernah punya cerita Menarik, Di Tahun 2015, ketika Penulis Menjadi Asisten Bantuan Hukum di Lembaga Bantuan Hukum Jakarta, pernah datang seorang dari Korea Utara yang dalam penjelasannya beliau adalah mantan Pelajar Indonesia yang sekolah di Korea Utara, saat itu tahun 1966 beliau menghadapi dilema, antara harus pulang untuk diproses hukum karena terindikasi Pro PKI, atau tetap disana dengan kemungkinan besar harus kehilangan hak-haknya bahkan harta-hartanya serta hubungan dengan keluarganya di Indonesia.

Menurutnya hidup mereka seperti Di Bui tanpa Jeruji, yaitu tidak bisa kemana mana dan banyak haknya yang hilang, dan mereka di lindungi oleh Hukum Humaniter Internasional.

Pasca 50 di Korea Utara beliau datang ke Jakarta, bertemu keluargnya yang sudah beliau tidak kenali lagi, dan ketika itu harapan dari Eksil tersebut adalah apakah bisa hak-hak beliau penuh kembali? Inilah pertanyaan yang hanya sanggup di jawab oleh Negara.

Harapan dari ramainya terkait Isu kebangkitan PKI, dikaitkan dengan korban kejahatan 1965, tidaklah relevan. Tetapi akan lebih elok jika Pemerintah bersedia turun tangan, turun kaki dan turun kepala untuk menyudahi polemik Setengah Abad ini, terkait hal tersebut janganlah polemic Ex-PKI yang sudah tidak mendapatkan hak secara utuh harus dipersekusi lagi secara opini karena dianggap sebagai pelaku utama bangkitnya PKI, tetapi hargailah perjuangan mereka dengan memberikan suatu Rekonsiliasi demi terwujudnya Negara yang mampu memenuhi, menghargai dan melindung Hak Asasi Warga Negaranya.

No More Posts Available.

No more pages to load.