Namun saat ini masih ada pers yang menuhankan rating dengan memuat berita sekalipun terancam tuduhan moral hazzard ini. Di Jepang ada larangan untuk tidak menyiarkan secara vulgar korban-korban bencana gempa agar tidak menciptakan trauma publik. Di Indonesia masih ada pers yang dengan dalih realita menyuguhkan berita hasil sadisme.
MAKIN BERESIKO
Prinsip pers bebas atau kebebasan pers juga kini sedang di persimpangan jalan. Setelah prinsip ini diterapkan paska Reformasi, dan ada periode euforia kebebasan pers, kini pers juga sedang melakukan evaluasi. Pasalnya ternyata kebebasan pers ini tidak didukung oleh penegakan hukum yang memadai.
Ada ratusan wartawan yang menjadi korban dari kekerasan yang dilakukan oleh orang-orang yang merasa tidak puas dengan pemberitaan. Selain menderita penyiksaan dan cacat, mereka juga ada yang hilang dan tewas. Ini membuktikan bahwa transparansi publik hanya cditerapkan setengah-setengah.
Bahkan beberapa kali kelompok radikal melakukan demo terhadap kantor redaksi surat khabar atau media massa. Padahal pers saat ini sepenuhnya sudah adil dalam mengungkap aspirasi kedua belah pihak (cover both sides). Karena tingginya resiko pemberitaan terkait acara kelompok radikal ini, maka media massa berkurang dalam memberitakan acara yang diselenggarakan oleh kelompok radikal.
MUNCULNYA PERS SKEPTIS
Kebebasan pers, telah memungkinkan semua informasi dari masyarakat dipublikasikan secara luas. Namun muncul efek reperkusif yang hebat yakni secara langsung dan tidak langsung masyarakat telah menempatkan media massa sebagai alat untuk mempublikasikan kegiatan-kegiatan mereka. Hal ini selanjutnya membuat masyarakat melakukan rekayasa untuk membuat acara yang layak siar atau tayang.
Dalam hal ini pers harus mampu menyaring mengenai substansi acara dengan seluruh latar-belakangnya. Selain itu juga tentang segala implikasi yang ditimbulkan. Pada era Orde Baru model ini disebut bentuk dari pers yang bertanggungjawab. Namun saat ini ukuran tanggungjawab ini tidaklah jelas.
Hal ini melahirkan pers yang ultra hati-hati, khususnya dalam meliput acara yang sarat dengan rekayasa. Pers tidak mau dituduh menyiarkan khabar bohong. Dalam kasus Ratna Sarumpaet peliputan pers sangat luar-biasa. Namun ternyata ini berita isapan jempol. Seperti yang terjadi pada tahun masa sebelumnya (1960-an), misalnya kasus Markonah Raja Raja Kubu dan Cut Sahara Fonna.
DELIK PERS YANG MULUR MUNGKRET