Di samping persamaan, tentu saja ada perbedaan. Namun yang paling mencolok adalah perbedaan pandangan politik keduanya. Kalau Soewardi mendapat gelar Pahlawan Nasional dan tanggal lahirnya 2 Mei 1889 diperingati sebagai Hari Pendidikan Nasional, maka Noto Soeroto, yang lahir pada tahun 1888, namanya tidak harum di lembaran Sejarah Indonesia, bahkan dilupakan orang.
Soewardi menjadi Pahlawan Nasional berkat perjuangan dan gagasannya untuk memerdekakan Indonesia. Sementara Noto Soeroto berpendapat lain, Hindia Belanda (sebutan untuk Indonesia kala itu) tidak perlu cepat-cepat merdeka.
Cucu Pakualam V ini menyampaikan gagasan persemakmuran sebagai pemersatu antara Belanda dan Indonesia. Menurutnya Indonesia memang akan merdeka, tetapi dalam persatuan dengan Belanda. Dalam pertemuan yang digelar berkenaan dengan peringatan ulang tahun kelima Perhimpunan Hindia, Noto Soeroto menegaskan kembali gagasannya dalam pidato yang berjudul Kesatupaduan Hindia dan Negeri Belanda.
Sangat disayangkan, ketika para pemuda Indonesia sedang giat-giatnya memupuk nasionalisme, sepupu Soewardi ini justru ingin melanggengkan ikatan antara Belanda dan Indonesia. Ketua Perhimpunan Hindia ini mengkhawatirkan, apabila Belanda dan Indonesia berpisah, apa yang akan terjadi dengan Indonesia.
Gagasan Rijkseenheid yang dicetuskan Noto Soeroto mendapat kecaman keras dari para aktivis kemerdekaan Indonesia. Salah satunya dari Douwes Dekker. Ia mengatakan Noto Soeroto berkali-kali lebih Belanda daripada orang Belanda sendiri, dan bukan orang Jawa.
Karena pandangan politiknya yang melenceng dari jiwa dan semangat kebangsaan, penganjur kerja sama yang erat antara Indonesia dengan Belanda ini tersingkir dari deretan aktivis kemerdekaan, khususnya para pelajar Indonesia di Belanda.
Sejatinya tidak hanya Noto Soeroto sendiri yang nyaman berhubungan dengan Belanda. Banyak pemuda Indonesia yang belajar dan tinggal di negeri Belanda, diterima oleh masyarakat Belanda dan merasa telah menjadi orang Belanda. Mereka sudah tidak ingat, bahwa negeri mereka yang bernama Indonesia, dijajah oleh Belanda. Mereka justru menginginkan tetap tinggal dalam ikatan dengan Kerajaan Dinasti Oranye dalam waktu yang lama.
Setelah 25 tahun menetap, pada tahun 1932 Noto Soeroto angkat kaki dari Belanda meninggalkan anak dan istrinya. Ia sangat kecewa dan rindu kampung halamannya. Di tanah airnya, si penulis buku Melatiknoppen ini pun bernasib sama, tersingkir. Indonesia terus bergerak menuju kemerdekaan, meninggalkan gagasan Noto Soeroto.