Opini, sketsindonews – Peran dan kontribusi perempuan menjadi faktor penting dalam menghadapi berbagai tantangan dalam upaya pemulihan, reformasi, serta transformasi ekonomi. Oleh sebab itu, penting untuk memberikan kesempatan yang sama kepada perempuan dalam perekonomian.
Di Indonesia, peranan perempuan dalam perekonomian semakin signifikan. Pada sektor UMKM, 53,76%-nya dimiliki oleh perempuan, dengan 97% karyawannya adalah perempuan, dan kontribusi dalam perekonomian 61%. Di bidang investasi, kontribusi perempuan mencapai 60% (Seminar Nasional Ekonomi dan Keuangan Syariah, Kementeri Keuangan Ri, 2021).
Hal ini menunjukkan kesadaran akan pentingnya peran perempuan dalam pembangunan, pemerintah Indonesia membidik empat sektor utama yakni di bidang pendidikan, kesehatan, ketenagakerjaan, serta terkait pencegahan kekerasan. Di samping itu, langkah strategis disiapkan untuk mengatasi isu pemberdayaan perempuan, kesetaraan gender, sekaligus mencapai tujuan pembangunan berkelanjutan atau Sustainable Development Goals (SDG’s).
Pemberdayaan perempuan penting bagi perekonomian sebuah negara. Isu kesetaaraan gender tidak hanya penting dari sisi moralitas, keadilan, tetapi juga sangat penting dan relevan dari sisi ekonomi.
Lebih jauh, pentingnya peran perempuan di bidang ekonomi itu diperkuat oleh data yang tertera dalam State of The Global Islamic Economy Report. Hal ini menunjukka peranan perempuan yang menjadi wirausahawan disebut bisa meningkatkan potensi kontribusi atas produk domestik bruto (GDP) global hingga USD5 triliun.
Dalam laporan The Global Gender Gap Index 2020 yang dirilis World Economic Forum, Indonesia di peringkat 85 dari 153 negara, dengan skor 0.70. Secara bertahap, dalam kurun 12 tahun, Indonesia bisa mempersempit kesenjangan gender sekitar delapan persen terutama di bidang pendidikan dan kesehatan. Namun, masih terlihat kesenjangan lebar dalam partisipasi ekonomi dan politik.
Mengurai Kesenjangan
Kesenjangan acap kali merupakan produk diskriminasi, yakni perlakuan ketidakadilan selalu dirawat dalam setiap kebijakan publik dan domestik. Terlepas faktor mentalitas kebudayaan masyarakat yang pernah disinggung Koentjaraningrat (1974) dan Soemardjan (1982), sejatinya kesenjangan sosial, termasuk kesenjangan pendapatan laki-laki dan perempuan, lebih dilatari adanya hambatan struktural.
Kesenjangan pendapatan dan partisipasi kerja antara laki-laki dan perempuan bisa direduksi dengan tindakan kesengajaan. Selama ini, banyak studi yang membedah persoalan kemiskinan, dan ternyata posisi terburuk berada di tangan kaum perempuan.
Pemberdayaan perempuan, merujuk Friedman (1992), meliputi tiga hal pokok, yakni proses enabling (kemampuan menciptakan iklim yang memungkinkan potensi perempuan berkembang), empowering (kemampuan menguatkan potensi atau daya yang dimiliki perempuan), dan advocation (kemampuan melakukan perlindungan dan pemihakan kepada perempuan di perdesaan).
Masyarakat yang melangkah maju ke zaman baru seperti ke jaman kita, antara lain mengalami masa emansipasi wanita, yaitu usaha melepaskan diri dari peranan wanita yang terbatas dari sistem kekerabatan untuk mendapatkan status baru, sesuai dengan jaman baru, dalam keluarga dan dalam masyarakat besar. Perubahan pada sistem perekonomian dalam masyarakat tersebut membawa perubahan pada alokasi ekonomi keluarga. Dalam hal ini perempuan berubah karena peranan perempuan dalam bidang ekonomi berubah pula. Partisipasi wanita dalam dunia kerja, telah memberikan kontribusi yang besar terhadap kesejahteraan keluarga, khususnya bidang ekonomi.
Jika kita mau melihat dari fakta yang ada dilapangan sering kali kaum perempuan (istri) menjadi penyelamat perekonomian keluarga.Fakta ini terutama dapat terlihat pada keluarga-keluarga yang perekonomiannya tergolong rendah, banyak dari kaum perempuan (istri) yang ikut menjadi pencari nafkah tambahan bagi keluarga. Pada keluarga yang tingkat perekonomiannya kurang atau prasejahtera peran istri tidak hanya dalam areal pekerja domestik tetapi juga areal publik. Ini di mungkinkan terjadi karena penghasilan sang suami sebagai pencari nafkah utama tidak dapat mencukupi kebutuhan keluarga.