Opini, sketsindonews – Lawrence M. Friedman menyatakan bahwa budaya hukum adalah pola pengetahuan, sikap, dan perilaku kelompok masyarakat terhadap sistem hukum. Kualitas budaya hukum suatu kelompok masyarakat dapat diamati dari tanggapan dan kesatuan pandangan mereka terhadap gejala-gejala hukum dan nilai-nilai hukum.
Dalam kurun waktu terakhir, kita menemukan fenomena budaya hukum yang jauh berbeda di tubuh TNI-Polri. Pada masa sebelumnya budaya hukum TNI-Polri cenderung berorientasi pada gejala saling menutupi atau blue wall of silence. Ketika ada oknum yang terlibat kasus hukum maka para komandan atau rekan-rekannya cenderung melakukan kode senyap dan saling menutupi sebagai bentuk esprit de corps. Namun, budaya hukum TNI-Polri dibawah kepemimpinan Jenderal Andika Perkasa dan Jenderal Listyo nampak jauh berbeda dan memberikan angin segar dan harapan baru untuk seluruh rakyat negeri ini.
Kita mulai dari fenomena budaya hukum di organisasi Polri yang baru saja dihentak kasus besar yang menimpa dua petingginya, yaitu Irjen Ferdy Sambo dan Irjen Teddy Minahasa. Kedua kasus tersebut sangat menyita perhatian masyarakat, karena ada pejabat tinggi Polri yang melakukan abuse of power, melanggar hukum yang seharusnya dijaga, diproses melalui sidang etik internal Polri, lalu dilakukan proses hukum sipil sebagaimana warga negara lainnya. Terlepas bahwa kasus-kasus itu terlalu besar untuk ditutupi, namun keputusan Jenderal Listyo Sigit menggiring anak buahnya sendiri ke lembaga peradilan umum, tanpa pandang bulu, adalah terobosan budaya hukum yang luar-biasa.
Terlepas dari langkah tegas Kapolri pada kasus Irjen Ferdy Sambo dan Irjen Teddy Minahasa, maka TNI dibawah kepemimpinan Jenderal Andika Perkasa pun melakukan terobosan budaya hukum yang unik, namun juga berdampak luar biasa. Jenderal Andika mengubah budaya hukum TNI yang esklusif dihadapan hukum, menjadi lebih inklusif. Semua kasus-kasus hukum yang melibatkan anggota TNI dibahas rutin dan terbuka di hadapan publik dan ditayangkan di media sosial TNI.