Buku kadang tidak masuk akal. Hanya buku yang menyuruh kita mampu memanfaatkan kebodohan yang dimiliki. Karena jika kepintaran itu tidak cukup memukau dan meyakinkan orang lain, maka gunakan saja kebodohan kita untuk membingungkan mereka. Hari ini, semua orang berlomba-lomba mempertontonkan kepintaran seperti debat capres dan cawapres agar rakyat kagum. Tapi kata buku, daripada sibuk menunjukkan kepintaran yang sebenarnya tidak dimiliki. Lebih baik bingungkan saja orang lain dengan kebodohan. Jelas, semua sudah ada di buku-buku bacaan.
Dulu saat membaca buku Ian Craib berjudul “Teori-Teori Sosial Modern: dari Parsons sampai Habermas”, saya pun terkesima. Ternyata buku bukan sekadar bacaan biasa. Melainkan bisa jadi panduan praktis untuk “menguasai dan memanipulasi” orang lain dengan cara yang positif. Tentang cara membangun rasa hormat dari lingkungan, mengakomodasi konflik, mendapat perhatian tanpa harus menjilat, dan bahkan bertahan untuk mencapai sukses dalam persaingan yang ketat. Di buku ini, saya belajar bagaimana cara memanfaatkan musuh atau lawan agar menjadi sekutu yang mendukung kesuksesan kita. Itulah yang disebut akomodasi konflik. Bahwa musuh jangan dijauhi tapi “diakomodasi” menjadi corong kekuatan dan kelebihan kita.
Maka sangat jelas, buku kadang tidak masuk akal. Saat kita berbuat baik, justru prasangka buruk muncul di mana-mana. Saat kita meraih sukses berkat kerja keras dan ikhtiar tiada henti, justru makin banyak orang yang membenci. Bahkan saat kita dizolimi dan berdiam diri pun justru kabar-kabar buruk yang ditebarkan. Hingga jadi bahan gunjingan, ghibah atau fitnah. Gilanya betul, saat orang lain berpikir buruk di balik perbuatan baik yang kita tebarkan justru buku menyuruh kita tetap berbuat baik. Memang benar, buku kadang tidak masuk akal.