Apabila Laut Merah terblokade dalam waktu lama, pelayaran yang melalui Terusan Suez akan ikut terganggu. Saat ini saja sudah sekitar 35% dari pelayaran berbendera Amerika Serikat yang mengalihkan pelayarannya. Banyak perusahaan pelayaran komersial telah mengalihkan operasi mereka, dengan membuat kapal-kapal mereka menjauhi Laut Merah dan aksesnya ke Laut Tengah melalui Terusan Suez. Bahkan sudah banyak Perusahaan pelayaran yang memutuskan kapal-kapalnya tersebut untuk memutar dan menggunakan jalur yang semakin jauh yaitu melalui Tanjung Harapan di ujung Selatan Afrika.
Akibat dari rute perjalanan yang semakin jauh maka mempengaruhi pula terhadap waktu perjalanan pelayaran serta konsumsi bahan bakar kapal-kapal angkutan kargo dan angkutan lain tersebut. Selain itu rute pelayaran yang semakin jauh akan mempengaruhi biaya angkutan logistik, Dimana Eropa dan Negara-Negara di Mediterania akan menanggung dampak paling parah. Begitu juga dengan perdagangan ke Asia akan merasakan imbasnya imbuh Capt Hakeng.
Mengutip dari The Global Trade Research Initiative memperkirakan dampak ekonomi perubahan rute pelayaran tersebut akan meningkatkan biaya pelayaran sekitar 40-60 persen, kemudian kenaikan biaya asuransi 15-20 persen, dan ada potensi rusak sebagian atau seluruh kargo yang dibawanya akibat rute pelayaran yag berubah. Perusahaan ekspedisi raksasa Maersk dan CMA CGM misalnya, mereka akan mengenakan biaya tambahan terkait pengalihan rute kapal.
“Situasi itu tentu juga ikut mempengaruhi harga minyak dan gas di pasaran Internasional. Misal Harga Minyak mentah berjangka Brent pada akhir Desember lalu naik 92 sen, atau 1,2 persen, menjadi 80,31 dolar AS per barel pada 1445 GMT. Pasokan barang pangan juga ikut terpengaruh akibat konflik di Laut Merah tersebut,” sebut Capt Hakeng.
Terhambat atau berkurangnya pasokan minyak dan gas dunia juga akan berpengaruh terhadap harga minyak dan gas di Indonesia, Akibatnya efek domino terhadap kenaikan harga pangan atau bahan pangan pokok akan terjadi di Indonesia pula.