Opini, sketsindonews – Nama Bidar Alam, Nagari di Kecamatan Sangir Jujuan Kabupaten Solok Selatan Sumatera Barat tertulis dengan tinta emas di lembaran sejarah Indonesia. Nagari yang terletak 180 kilometer di selatan Kota Padang ini menjadi saksi perjalanan bangsa Indonesia dalam mempertahanakan kemerdekaan.
Namun sayangnya generasi muda tidak banyak yang tahu jika pusat pemerintahan Republik Indonesia pernah berada di nagari yang berjarak kurang lebih 180 kilometer dari Kota Padang ini. Perjalanan menuju Nagari Bidar Alam ditempuh kurang lebih 6 jam melalui jalan darat.
Sebelum menuju Nagari Bidar Alam, di pertengahan Bulan Maret, Tim Pelestarian Situs Sandi Pemerintah Darurat Republik Indonesia yang dipimpin Kepala Museum Sandi Yogyakarta, Setyo Budi Prabowo, S.ST., menyempatkan bertemu Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Solok Selatan, Hj. Mardiana, S.Pd. M.Hum.
Di daerah nan sejuk itu, Tim Pelestarian Situs Sandi Pemerintah Darurat Republik Indonesia yang terdiri dari Museum Sandi Yogyakarta dan Museum Pusat TNI AU Dirgantara Mandala bersama Hj. Mardiana, S.Pd. M.Hum menelusuri sisa peninggalan sejarah penting yang lekat dengan nama Mr. Sjafruddin Prawiranegara, Pimpinan Pemerintahan Darurat Republik Indonesia.
Bukittinggi Kota Perjuangan
Tanggal 19 Desember 1948, Belanda melancarkan Agresi Militer Kedua. Dalam rencana operasi yang disusun Letnan Jenderal Spoor disebutkan untuk secepatnya menangkap pemimpin Angkatan Perang Republik Indonesia di Yogyakarta, menduduki titik-titik penting untuk memudahkan pembersihan sisa-sisa kekuatan Republik serta menghancurkan pusat-pusat kekuatan TNI.
Sore hari Letnan Kolonel van Beek, komandan pasukan Baret Hijau yang diterjunkan di Pangkalan Udara Maguwo memasuki kota Yogyakarta menangkap Presiden Soekarno. Bersama Wakil Presiden Mohammad Hatta dan para pejabat tinggi lain yang berada di Yogyakarta, Presiden Soekarno menjadi tahanan rumah. Penangkapan para bapak bangsa menandai jatuhnya Ibu Kota Republik Indonesia Yogyakarta, ke tangan Belanda.
Sebelum ditangkap, Presiden Sukarno mengirim mandat kepada Menteri Kemakmuran Mr. Sjafruddin Prawiranegara yang ketika itu berada di Bukittinggi untuk membentuk Pemerintahan Darurat Republik Indonesia (PDRI).
“Kami, Presiden Republik Indonesia, memberitakan bahwa, pada hari Minggu tanggal 19 Desember 1948, djam 6 pagi, Belanda telah mulai serangannja atas Ibu Kota Jogjakarta. Djika dalam keadaan Pemerintah tidak dapat menjalankan kewajibannja lagi, kami menguasakan kepada Mr Sjafruddin Prawiranegara, Menteri Kemakmuran Republik Indonesia, untuk membentuk Pemerintahan Darurat di Sumatera”.
Mr. Sjafruddin Prawiranegara tidak mengetahui adanya mandat tersebut. Hal ini disebabkan karena terputusnya jalur komunikasi antara Yogyakarta dan Bukittinggi. Pembentukan PDRI baru dilakukan tiga hari kemudian. Pada 22 Desember 1948 pukul 04.30 bertempat di Kebun Teh Halaban, Payakumbuh, diumumkan terbentuknya PDRI lengkap dengan susunan kabinet. Sejak saat itu PDRI menjadi musuh nomor satu Belanda dan tokoh-tokoh PDRI harus menyamar untuk menghindari kejaran Belanda.
Menghindari kejaran Belanda, Mr. Sjafruddin Prawiranegara bersama rombongan Kabinet PDRI dan personel Perhubungan Angkatan Udara Republik Indonesia (PHB AURI) yang dilengkapi peralatan radio berangkat menuju Nagari Bidar Alam, untuk menjalankan roda pemerintahan Republik Indonesia di pengungsian.
Di Nagari Bidar Alam, Mr. Sjafruddin Prawiranegara tinggal di rumah gadang yang berlantai panggung setinggi sekitar 1 meter dengan panjang 10 meter dan lebar 7 meter. Sampai saat ini, rumah yang ditempati Mr. Sjafruddin Prawiranegara dan tempat berlangsungnya sidang kabinet PDRI masih tegak berdiri.
“Generasi muda harus tahu sejarah, bagaimana Nagari Bidar Alam saat itu ikut berperan penting dalam menjaga NKRI dari keinginan Belanda untuk menjajah kembali,” ungkap Hj. Mardiana, S.Pd. M.Hum.
Radio PHB AURI Bidar Alam
Meski secara geografis daerah Nagari Bidar Alam saat itu sangat susah dijangkau karena belum adanya jalan darat, namun komunikasi dengan Pulau Jawa tetap dilakukan melalui radio milik Angkatan Udara Republik Indonesia (AURI). Bermarkas di lantai dua di Surau Bulian, stasiun radio AURI menjalin komunikasi dengan seluruh stasiun radio yang dapat mereka hubungi.
Alat pemancar Stasiun Radio AURI digerakkan dengan tenaga listrik dari dua baterai accu, masing-masing berkekuatan 12 volt dengan type MK III 19 Set Helicraft Wireless berukuran 30 x 60 cm dan tingginya 20 cm.
Untuk menjaga kerahasiaan, waktu siaran sering dilakukan pada malam hari, dimulai pada pukul 21.00 malam sampai dengan pukul 04.00 dini hari. Stasiun Radio PHB AURI ini lebih dikenal dengan sebutan Stasiun AURI UDO. UDO merupakan callsign atau kode panggilan untuk Stasiun Radio PHB AURI di Bidar Alam, singkatan dari nama Sersan Udara Udoyo. Selain Sersan Udara Udoyo, Stasiun Radio Bidar Alam juga diawaki Opsir Udara III Dick Tamimi dan Sersan Mayor Udara Kusnadi.
Salah satu catatan penting peran Stasiun PHB AURI di Bidar Alam adalah keberhasilannya menyebarluaskan berita tentang Serangan Umum 1 Maret 1949. Siaran berita itu dilaksanakan pada pukul 02.00 pada tanggal 2 Maret 1949, ke seluruh jaringan radio AURI.
Berita Serangan Umum 1 Maret 1949 dikirimkan oleh Sersan Basuki Hardjo, Operator Stasiun PHB AURI PC-2 Playen Gunung Kidul dan diterima oleh Sersan Udara Kusnadi, Operator Radio di Bidar Alam. Keesokan harinya, 3 Maret 1949, berita Serangan Umum 1 Maret dilaporkan Opsir Udara III Dick Tamimi kepada Mr. Sjafruddin Prawiranegara.
Dari Stasiun Radio PHB AURI UDO, radiogram diteruskan ke PHB AURI di Kutaraja Aceh, Rangoon dan ke New Delhi. Radiogram akhirnya diterima perwakilan Indonesia di Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), Lambertus Nicodemus Palar.
Pejabat perwakilan RI di PBB itu menyampaikan berita Serangan Umum 1 Maret 1949 di depan sidang Dewan Keamanan PBB pada tanggal 7 Maret 1949. Berita Serangan Umum 1 Maret 1949 membuktikan kepada dunia internasional bahwa pemerintahan Indonesia masih berdiri dan Tentara Nasional Indonesia mampu melakukan serangan balasan kepada Belanda. Berita PHB AURI sekaligus membalikkan pernyataan sepihak Belanda, jika pemerintahan Indonesia dan Tentara Nasional Indonesia sudah tidak ada.
Di suatu kesempatan, Mr. Syafruddin Prawiranegara mengatakan, andai saja waktu itu tidak ada radio PHB AURI, maka eksistensi perjuangan Pemerintah Darurat Republik Indonesia mungkin tidak akan pernah diketahui dunia Internasional.
Oleh : Kolonel Sus Yuto Ngroho