Jakarta, sketsindonews – Sekelompok sastrawan berunjuk rasa di depan pengadilan negeri Jakarta Timur, kamis (08/9). Mereka melengkapi diri saat aksi dengan atribut karton dan bendera. Tidak hanya itu pula masa juga menyerukan kata-kata dan orasi di hadapan pengguna jalan.
“Lawan UU ITE Anti Demokrasi,” ucapnya.
Baca: Gema Demokrasi: Cabut Segera Pasal Anti Demokrasi di UU ITE Pulihkan Demokrasi
Barisan pendemo tersebut saling berganti-ganti menyerukan aspirasinya dengan kata-kata puisi dan syair di halaman PN Jakarta Timur. Masa juga menilai sastrawan Indonesia telah mati dan terbungkan oleh uang.
“Saya mewakili pribadi, saya sebagai penyair hari ini sastra Indonesia telah mati. Kita lawan UU ITE ,ini hanya revisi ini adalah pembungkaman, kita lawan lewat pena. Bahasa kita sudah busuk sudah terbeli oleh uang. Kita hapuskan UU ITE, itulah esensi demokrasi,” seru salah seorang aktivis budaya.
Mereka juga meneriakan kata-kata sebagai bentuk perlawanan.
“Kawan-kawan kita teriakan bajingan. Bajingan, bajingan, bajingan” ajak orator kepada masa aksi dan di ikuitinya .
“Jangan takut untuk memaki dan bersumpah serapah. kami akan didepan sudah cukup dengn manipulasi, korupsi dan tipudaya. kami mau kejujuran sekali lagi kami akan melawan UU ITE, hidup rakyattt,” terangnya.
Menurut Saut Situmorang, ada fakta-fakta yang yang tidak sesuai pada dirinya usai keluar ruang sidang. Kata Saut, lanjutnya, dia telah mengatongi pendididkan diluar negeri hingga S-2, oleh sebab itu setiap bahasa yang di keluarkan oleh budayawan akan dinilai oleh masyarakat luas .
“Kami sudah mewakili sastra. Hari ini saya dituduh bersalah.hanya karena bajingan. Ini luar biasa. saya akan berpikir karier masa depan saya. Kalau ada dikalangan polisi apalagi dikalangan hakim. Karena bagamana saya penantang saya S-2 lulusan luar negeri. Fakta-fakta ini yang tabrakan malah saya diperadilkan. Kita ini ahli bahasa dinilai orang-orang,” urai Saut Situmorang sebagai sastrawan.
Dalam kesempatan yang sama ,Asri menceritkan awal mula terjadi permasalahan itu saat terbit buku berjudul 33 tokoh sastra. Namun, dari nama-nama tokoh itu tercantum nama Deny Januar Ali dari LSI, lalu dibuatlah oleh salah seorang tentang puisi esai dan diberikan sejumlah uang untuk proses percetakan. Atas penolakkan nama Deny itulah mencuat kasus tersebut dan saling komentar di facebook dengan berbagai ancaman.
” Awal ada buku terbita dgn judul 33 tokoh satra . Kemudian masuklah Denni Januar Ali dari LSI. Nah dia itu kemudian untuk menokohkan dia dibuatlah buku oleh Fatin Hamama puisi esai, dia kontak dan dikasih uang. Ahmadun 10juta dan Ramses 3 juta. buku itu melegitimasi nama Deny nama penyair. Ketika dikritik tentang buku dari petisi penolakan dan lembaga pendidikan untuk mempertanggung jawabkan soal ini. buku itu tentang tokoh Deny diundang tidak mau hadir. Dan tiba-tiba saksi menyebutkan nama penjelek- jelekan dengan akun fb,” jelas Asri .
“Siapa yg menjelek-jelekan Deny JA akan dilaoprkan ke polisi. ” Fatin itu mengacam melalui Menali (saksi),” imbuhnya.
Dalam kasus ini menurut Asri terkait UU ITE bisa terjerat ancaman 6 tahun. Namun, saat ini Jaksa memberikan putusan percobaan.
“7 bulan jaksa,tapi kemudian putusannya percobaan UU ITE ancaman 6 tahun. Pasal 45 ayat 3 junto 27 ayat 3 uu 11 nmr 2008 terntang ITE dan denda 1 Miliar,” tutupnya. (Dw)