Kehidupan bernegara dan berbangsa memang tidak bisa diikat oleh ajaran agama. Menjadi isu ketika ada sosok yang berkompeten dan berintegritas, tetapi memiliki keyakinan yang berbeda dengan masyarakat yang mayoritas maju menjadi calon kepala daerah.
Apakah intrepretasi nilai-nilai agama menggugurkan nilai-nilai kebangsaan yang sudah disepakati bahwa setiap orang punya hak politik untuk mengabdi bagi bangsa dan negara? Bukankah dalam lagu ‘Bagi Mu Negeri’ sudah disebutkan bahwa jiwa dan raga akan kita serahkan kepada negeri tanpa memandang ras dan agamanya? Bila karena alasan interpretasi agama sosok minoritas tidak lagi punya kesempatan untuk mengabdi kepada negeri ini, bukankah kita menghianati para pendiri bangsa ini? Apakah dasar Negara Pancasila, semboyan Bhinneka Tunggal Ika, lagu kebangsaan Indonesia Raya, Sumpah Pemuda, lagu-lagu nasional dan banyak simbol lain menjadi tidak berarti?
Ini bukan isu yang mudah. Isu ini harus menjadi perhatian etlit politik, elit agama dan masyarakat demi tetap tegaknya Negara Kesatuan Republik Indonesia. Kita harus banyak berpikir dan merenung kembali cita-cita Para Pendiri Repulik ini seperti yang telah tertuang dalam Pembukaan UUD 1945. Hanya dengan kesetiaan meraih cita-cita itu, negeri kita ini bisa maju dan ambil bagian mengisi perjalanan sejarah dunia yang progressif.