Catatan khusus adalah para karyawan KPK yang sudah menguasai medan KPK harus ditinjau ulang. Salah satunya adalah membatasi masa kerja karyawan KPK. Tujuannya agar mereka tidak mengendalikan KPK, bahkan mengarahkan kasus, memilih kasus, dan administrasi kasus yang bersifat permanen dan dikuasai oleh mereka.
Ketua KPK terpilih, Firli Bahuri dan kawan-kawan sebaiknya memecat seluruh karyawan yang arogan menolak pimpinan KPK yang baru. Kegilaan subordinasi karyawan KPK. Tak boleh dibiarkan karena akan semakin merusak KPK dari dalam. Bagusnya mereka mundur dari KPK. Karena catatan mereka akan dibuka oleh Pimpinan KPK yang baru. Dari unsur Kepolisian yang selama ini mereka tolak.
DPR dan Presiden Unjuk Gigi
DPR pun unjuk gigi. Meskipun ada kepentingan – dalam politik selalu ada kepentingan –DPR berkuasa untuk menentukan arah KPK melalui revisi UU KPK. KPK yang berdiri tanpa pengawasan dinilai kebablasan. Buktinya?
Fungsi penyadapan menjadi sesuatu yang tidak terkontrol. Tidak ada laporan dan audit tentang cara dan fungsi penyadapan. KPK menjadi negara dalam negara. Tanpa laporan sinyalemen penyalahgunaan penyadapan eksklusif – jika dikuasai oleh pihak yang tidak bertanggung jawab, bisa dimanfaatkan untuk kepentingan di luar KPK. Ini urgensi memotong hak eksklusif penyadapan. Apalagi jika benar KPK tersusupi ‘Polisi Taliban’ artinya kaum radikal, maka akan sangat membahayakan negara.
Memahami hal tersebut, Jokowi bertindak. Mendapatkan masukan dari kelompok kecil di Yogyakarta, Jokowi dengan sigap menjelaskan dan bersikap realistis walau Jokowi akan mengalami dilematis.
KPK yang tanpa pengawasan – ketika kebobrokan dan perpecahan ada di dalam KPK – maka Jokowi pun mengirimkan Surat Presiden untuk membahas Revisi UU KPK. Wujud penyelamatan NKRI dari radikalisme yang sedang diperangi yang disinyalir telah masuk ke dalam KPK.