Riesqi juga menjelaskan bahwa Dasar hukum penyelidikan perkara pidana biasa, yakni:
A) Pasal 4, 5, 9, 102, 103, 104 dan 105 KUHAP
B) Peraturan pemerintah RI No. 27 tahun 1983 tentang pelaksanaan KUHAP
C) UU RI No. 5 Tahun 1991 tentang Kejaksaan RI untuk mengadakan penyelidikan terhadap tindak pidana khusus.
1) Tindak Pidana Subversi yang diatur dalam UU No. 11 / NPS / tahun 1963
2) Tindak Pidana Ekonomi yang diatur dalam UU No. 07 Drt tahun 1955
3) Tindak Pidana Korupsi yang diatur dalam UU No. 03 tahun 1971
Sementara tahapan lanjutannya berupa penyidikan, dimana proses penyidikan Oleh Polri berdasarkan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana mulai dapat dilaksanakan sejak dikeluarkannya Surat Perintah Dimulainya Penyidikan (SPDP) yang dikeluarkan oleh pejabat yang berwenang dalam instansi penyidik, dimana penyidik tersebut telah menerima laporan mengenai terjadinya suatu peristiwa tindak pidana.
“Maka berdasarkan surat perintah tersebut penyidik dapat melakukan tugas dan wewenangnya dengan menggunakan taktik dan teknik penyidikan berdasarkan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana agar penyidikan dapat berjalan dengan lancar serta dapat terkumpulnya bukti-bukti yang diperlukan dan bila telah dimulai proses penyidikan tersebut maka penyidik harus sesegera mungkin memberitahukan telah dimulainya penyidikan kepada penuntut umum,” jelasnya.
Selanjutnya terkait penetapan status tersangka, Riesqi menjelaskan bahwa hingga saat ini hukum acara pidana yang berlaku di Indonesia adalah UU Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana yang kemudian disebut dengan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) Definisi tersangka sangat jelas diatur dalam ketentuan Pasal 1 angka 14 KUHAP yang menyebutkan bahwa: